Euforia
hari raya sudah lewat. Sejak libur usai, jalan raya kembali lengang, suasana
terasa lesu dan bau-bau kemalasan tercium di sepanjang jalan. Nyaris terasa
seperti kesunyian yang tertinggal setelah badai lewat. Saya tidak berbicara
tentang Jakarta atau kota besar lain, ya. Ini daerah tempat tinggal saya, kota
kecil tujuan mudik banyak keluarga, tempat asal banyak pemuda yang merantau ke
lain kota.
Ngomong-ngomong
tentang jalan raya, saya punya banyak cerita. Setiap jengkal jalan raya
Kudus-Semarang dan sekitarnya menyimpan cerita. Tidak peduli seberapa sering
saya dulu berlalu-lalang bolak-balik melewatinya, selalu ada cerita baru.
Misalnya di pertigaan sana, tempat saya turun dari bus setiap Senin pagi ketika
masih berseragam putih abu-abu, untuk ganti angkot sebelum berlarian menuju
gerbang sekolah karena nyaris terlambat. Atau di pinggir jalan setelah lampu
merah sebelah situ, tempat saya ditilang pak polisi gara-gara katanya menerobos
lampu merah padahal saya merasa tidak. Atau di sepanjang lebih dari 100 km
perjalanan girls’ touring
Semarang-Blora dimana saya merutuki pemerintah karena sebagian jalan raya
bergelombang. Atau ratusan penggal cerita lain.
Namun
di antara semua cerita yang saya-sentris,
ada satu yang paling saya ingat sampai sekarang. Waktu itu saya sedang di dalam
bus antarkota antarpropinsi jurusan Surabaya-Semarang ketika sayup-sayup
terdengar adzan Maghrib dari seantero jalan. Masih ada satu jam perjalanan lagi
sebelum saya turun dari bus untuk ganti bus lain. Dan suasana di dalam bus
terasa tenang dan lengang. Saya pun membetulkan posisi, bergaya sok cool menempel ke jendela (itu yang suka
dari naik bus sendirian, berasa seperti sedang syuting salah satu adegan drama
Korea, hahaha..).
And there he is, duduk di bagian paling kiri
dari bangku panjang penumpang, berseberangan dengan saya yang duduk di bagian
paling kanan. Have I told you this is not
a romance ? Dia yang saya maksud adalah pak kondektur berusia hampir lima
puluh (tebakan saya), sedang... sholat ! Iya, beneran SHOLAT ! Dalam posisi
duduk, pak kondektur itu melakukan gerakan takbir, rukuk, sujud sebisanya
sambil umak-umik (melafalkan tanpa suara-jawa). Baru kali itu saya melihat
kondektur bus menjaga sholat fardhunya. Well,
saya jadi malu sendiri. Saya seringkali menjamak sholat ketika bepergian lebih
dari 81 km (termasuk waktu itu) karena memang boleh. Boleh, ada dalilnya. Tapi
boleh tidak sama dengan afdhol. Hal itu mengingatkan
saya pada sebuah pengajian pagi di salah satu stasiun TV swasta. Pak kiai-nya
bilang, kurang lebih begini : “ibadah seseorang itu tergantung imannya. Orang
sakit, orang hamil, musafir boleh tidak berpuasa, tapi bagi hamba yang imannya
kuat, mereka akan tetap berpuasa. Mereka yakin menjalankan kewajiban tidak akan
membahayakan hidup mereka sehingga bagi mereka tidak ada satupun alasan untuk
tidak berpuasa. Begitupula dengan menjamak sholat. Sahabat nabi dulu juga
menjamak sholat ketika berperang dan bepergian. Tapi itu dulu, ketika alat
transportasi tidak seperti sekarang. Dulu jarak 81 km itu jauh sekali, dan
masjid masih jarang. Sekarang situasinya berbeda, masjid dan mushola ada di
mana-mana, kendaraan banyak macamnya. Jadi seharusnya tidak ada alasan lagi
untuk menjamak sholat. Jika naik mobil, bisa menepi sebentar di mushola di
pinggir jalan. Jika naik pesawat boleh sholat sambil duduk....” Begitu
kira-kira isi pengajiannya. Saya tahu, ibadah itu benar-benar personal. Saya
hanya berbagi cerita dan pelajaran yang saya dapat dari sebuah bus antarkota.
Ngomong-ngomong
soal bus antarkota, setengah tulisan ini saya dapat idenya ketika saya sedang
di dalam bus antarkota beberapa minggu lalu. Namun kali ini bus antarkota yang
saya naiki khusus dicarter oleh keluarga besar untuk acara halal bihalal tujuh
turunan di luar kota. Seriusan, ini acara reuni keluarga super besar dari
kakeknya nenek saya yang punya delapan atau sembilan anak, yang masing-masing
anak punya entah berapa anak lagi. Bisa dibayangkan ramainya seperti apa.
Sebagian di antara kami bahkan tidak saling kenal. FYI, saya keturunan kelima
sedangkan Uprin keturunan keenam.
Reuni
keluarga super besar begini memang bagus. Yang awalnya tidak saling kenal
kemudian tahu ternyata bersaudara. Yang pernah ketemu di mana lalu ketemu di
sini, silaturrahmi terjaga. Yang tadinya tidak tahu lantas mengobrol, ternyata
kuliah di kampus yang sama. Dulu memang begitu. Namun beberapa tahun belakangan
trennya bergeser. Saya notice baru
tahun ini ada ABG yang kerjaannya sibuk banget sama action cam sepanjang acara halal bihalal (belum ada yang niat
banget bawa drone, sih !). Jadi, si
ABG itu saya perhatikan sibuk selfie
dan wefie sendiri. Kalau tidak sedang
cekrak-cekrek ya sedang asik sama smartphone
sendiri. Bukan cuma yang ABG saja, tapi sebagian besar ibu-ibu muda juga saya
perhatikan lebih asik main smartphone
ketimbang memperhatikan ceramah pak kiai di panggung atau menjalin
silaturrahmi. Bedanya, yang ibu-ibu muda seringnya sibuk memotret balita
masing-masing, lalu scrolling hasil fotonya, lalu motret-motret lagi. Acara
halal bihalal jadi kehilangan esensinya, hanya menjadi acara pengisi lebaran.
Sayang sekali ‘kan, tradisi halal bihalal yang seharusnya mendekatkan saudara
jauh tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Kalau terus begini di
tahun-tahun berikutnya, saya kira bukan tidak mungkin tradisi halal bihalal
seperti terhapus sepenuhnya suatu hari nanti. Atau mungkin saja di masa depan
tradisinya bergeser menjadi halal bihalal via video conference. Who knows?
Well,
ini hanya personal thoughts yang saya tulis berdasarkan tangkapan panca indra
saya sendiri. Sampai jumpa di post berikutnya. ^_^
Bener mba, halal bi halal kehilangan esensinya. Pada sibuk dg henpon masing2.
ReplyDeleteiya, terasa banget ya ?
DeleteUdah banyaaakk yg kayak gitu. Sedih. Terakhir ikut acara pelantikan gitu, ga tau deh berapa kali fotonya. Ibu A minta foto pake kameranya, B pake hp pribadinya. Belum foto sendiri jeprat jepret, selesai foto langsung ganti dp bbm nggak nyapa yg td habis foto bareng. Lah gimana ya jd bingung esensinya apa :))
ReplyDeleteKalau saya punya sugesti naik bus pasti mual dan gak nyaman sejak TK pe sekarang, bandung garut aja mesti pusing, semarang bandung pake travel menahan eneg gak nyaman sering pas istirahat muntah deh di kamar mandi, dan semarang jogja pun pening, apalagi semarang ponorogo tiap ganti bis torun terminal mesti muntah parah ya heuheu
ReplyDelete