Saya sudah bilang ‘kan kalau saya tinggal di kabupaten kecil di pesisir utara Jawa Tengah. Kalau saya sebut nama kabupatennya juga pasti jarang yang tahu. It’s a place where MAP doesn’t exsist. Bahkan Gramedia aja nggak ada. Serius !
To be honest, I have lived here since I was born. Bukan berarti saya nggak pernah kemana-mana ya. Saya tinggal di propinsi lain bertahun-tahun lalu kembali lagi ke sini, sekolah lagi di luar kota beberapa tahun lalu kembali lagi ke sini, lalu hijrah lagi ke kota lain tapi akhirnya saya kembali juga ke sini. Kalau boleh pamer, di sini hidup damai aman tentram makmur sentosa. Nggak pernah banjir di musim hujan, nggak kekurangan air di musim kemarau, nggak ada gempa atau sebangsanya. Alhamdulillah bangettt pokoknya (iya, triple T).
Kembali
ke “bahkan Gramedia aja nggak ada”. Padahal saya suka banget window shopping ke toko buku. Saya betah berjam-jam keliling toko buku,
dari rak satu ke rak lain. Just like
Keara (or Anya, in Ika Natassa’s book, of course)
said, “toko buku is the least
discrimative place in the word”. Saya bisa bebas melihat-lihat buku tanpa
dikintilin shop assistant (kalau di
toko sepatu, pasti SPGnya nempel terus kayak perangko sambil bilang “yang itu
baru lho, kak” setiap lima menit). Saya mau mantengin rak novel-novel metropop
juga nggak ada yang berisik bilang, “nggak mutu banget bacaan kamu”, ya kecuali
saya ke toko buku bareng orang rese. Di toko buku saya bisa jadi apa saja ;
pura-pura stylish dengan sok membaca
buku fashion berbahasa Perancis ; pura-pura religius dengan berdiri di deretan
rak buku-buku agama ; pura-pura mau kuliah lagi dengan membanding-bandingkan
tiga atau empat buku kumpulan soal ujian masuk magister ; atau jadi diri
sendiri dengan memilih beberapa tennlit dan metropop.
Di sini ada sih, toko buku kecil. Dulu ada tiga, sekarang tinggal dua, itupun yang satu cuma menyediakan buku pelajaran sekolah (plis deh ya, sedangkan waktu masih sekolah saja saya kebih pilih beli novel ketimbang buku pelajaran). Satunya lagi koleksi bukunya sedikit. Toko buku beneran yang paling dekat ada di Semarang, which is, 90 km dari sini, tiga setengah jam naik mobil kalau nggak macet. Praktis, saya sempat merasa bosan setengah mati karena terus membaca buku-buku lama saya.
Kemudian
saya mulai browsing mengenai toko
buku online (dalam hati saya menyesal, kenapa nggak dari dulu-dulu saya cari online bookstore). Banyak yang saya
temukan, tapi pilihan saya jatuh pada bukukita. Katalog bukunya banyak, semua
kategori, semua genre, semua penerbit, ada. Memang sih, tidak semua buku
stoknya di gudang bukukita. Sebagian besar buku ada di gudang penerbit, namun
bukukita selalu mencantumkan keterangan di mana stok buku tersebut berada.
Kalaupun stoknya di gudang penerbit, prosesnya cukup cepat. Kalau ternyata buku
yang dipesan habis, konsumen akan diberitahu. Komunikasi customer servicenya
bagus sekali. Buku-buku yang saya pesan biasanya akan sampai di tangan saya
paling lama lima hari setelah pembayaran (FYI, pengiriman ke daerah saya
memakan waktu paling tidak tiga hari).
Ngomong-ngomong
soal customer service yang oke, saya
pernah punya pengalaman belanja yang kurang mengenakkan di online store lain.
Ceritanya saya sudah membayar pesanan, ternyata barang yang saya pesan habis,
waktu saya bilang mau ganti barang lain kata CSnya nggak bisa, harus bikin
pesanan baru. Uang saya direfund sih,
tapi saya kurang puas aja kalau buka paket belanjaan isinya sedikit. Nah di
bukukita ini nggak begitu. Saya pernah pesan buku apa gitu, ternyata pas
dipesan ke penerbit harus tunggu cetak ulang dan perlu waktu agak lama. Lalu
saya bilang mau ganti buku lain aja yang ready
stock, ternyata bisa. Bahkan saya
nggak perlu transfer kekurangannya (selisihnya cuma seribu atau dua ribu sih,
tapi kan membantu banget).
Tapi.. ada satu yang saya kurang sreg di bukukita. Saya nggak tahu hitungan ongkirnya gimana. Tapi setiap saya belanja lebih dari Rp 200.000,- ongkirnya dihitung dua kilo. Nah, ongkir ke daerah saya kan sekilonya Rp 24.000,- ya, jadi saya mesti bayar ongkir Rp 48.000,-. Sebenarnya agak sayang juga, segitu bisa dapat satu novel lagi. Tapi kalau dihitung-hitung lagi, kalau dibandingkan saya harus bepergian 90 km hanya untuk membeli buku ya worth it lah. Tetap saja, saya berharap ada fasilitas free shipping. Pakai minimal belanja nggak apa-apa deh.
Bagaimanapun juga, sejauh ini bukukita masih menjadi toko buku online favorit saya. Pengemasan bukunya rapi kok, walaupun nggak pakai signature box tapi semua buku saya aman sampai ke tangan saya. Kalau kamu punya online bookstore favorit lain ? Share yuk ! ^_^
PS : ini tulisan sukarela, bukan
sponsored post.
Sukaaa juga sama BukuKita. Duh langganan aku banget dulu. Sayang. Sekarang udah pindah k Surabaya, jadi ga pernah lg beli di sana. Karena ongkirnya boo mahal hihi. Dulu kan msh tinggal di Bekasi, jadi murah hehe
ReplyDeleteSemangat bacanya luar biasa ... yg dekat dengan toko buku jadi malu *ngumpetdibelakangrakbuku
ReplyDeletesalam kenal mbak virly, wah hobi kita sama ya, sama2 suka membaca
ReplyDeleteCobain belanja di grobmart.com deh Mbak, worth it dan kece badai offernya :D
ReplyDelete