Sudah
hampir 17 Agustus, ya ? Semua rumah di sekitar sini sudah memasang bendera
merah putih (uups, rumah saya sendiri yang belum). Hawa-hawa tujuh belasan
sudah terasa, tapi tidak seterasa dulu. Di masa kecil saya dulu, perayaan tujuh
belasan itu ramai sekali. Setelah upacara di sekolah, diadakan macam-macam lomba
di berbagai tempat di penjuru desa.
Pagi hari biasanya lomba-lomba ringan macam
lomba makan kerupuk, lari karung, lari kelereng, dan sebagainya untuk anak-anak
SD. Siang sedikit ganti lomba berbau olahraga seperti bola voli, bulutangkis,
atau tarik tambang untuk usia SMP-SMA. Sore harinya ada lomba panjat pinang
untuk para pemuda, kadang ada juga panjat pisang (persis panjat pinang tapi
memakai pohon pisang) untuk anak-anak. Saya ingat dulu semua orang keluar rumah
untuk menonton, kami jalan kaki, lalu menonton sambil berdiri di pinggir arena,
kalau capek sesekali jongkok, kalau ada peristiwa lucu kami tertawa bersama.
Semua orang senang, kelihatan tanpa beban. Semua orang saling bercengkerama.
Tidak ada yang sibuk memotret ini itu apalagi memotret diri sendiri. illustrasi lomba panjat pinang, gambar punya shutterstock |
Sayang
sekali tradisi perayaan tujuh belasan seperti itu semakin berkurang dari tahun
ke tahun. Sejak saya SMP, perayaaan begitu sudah langka. Dan saya notice sejak saya SMA lomba-lomba tujuh
belasan itu sudah tidak eksis lagi di sini, bahkan lomba-lomba ringan untuk
anak SD pun tidak ada lagi. Mungkin orang-orang dewasa terlalu sibuk
mengumpulkan rupiah sehingga tidak bisa meluangkan waktu untuk mengorganisir
acara-acara non-profit seperti itu. Mungkin anak-anak muda terlalu sibuk tumbuh
dewasa sehingga tidak punya waktu untuk menjalin hubungan dengan kebiasaan
lokal. Sedangkan anak-anak kecil, tentu saja tidak punya alasan untuk keluar
rumah.
Sayang
sekali, ya ? Padahal perayaan tujuh belasan begitu ‘kan mempererat tali
silaturrahmi antar tetangga, mempererat gotong royong dan rasa kekeluargaan, juga
membuat anak-anak terus bergerak. Alih-alih kemana-mana mencari pokemon tapi
mata tetap fokus ke layar smartphone, bukannya lebih sehat bermain dan tertawa
bersama teman-teman di lapangan terbuka ?
Time flies,
kebiasaan berganti, budaya bergeser. Tidak bisa juga menyalahkan masyarakat
karena tidak melestarikan budaya. Bisa jadi memang budaya itu tidak relevan
lagi, tidak menguntungkan, sehingga tidak diminati. Budaya lomba panjat pinang
contohnya. Dulu dalam sehari entah ada berapa kali lomba itu diadakan, setiap
batch ramai peserta dan sarat penonton. Sekarang di sini tidak ada lagi.
Mungkin orang-orang merasa lomba-lomba perayaan tujuhbelasan tidak bermanfaat,
hanya membuang waktu dan tenaga, tidak peduli seberapa agung filosofi yang
terkandung didalamnya. Mengumpulkan rupiah jauh lebih penting daripada beracara
macam itu, begitu mungkin pikir orang-orang dewasa. Melakukan pekerjaan rumah
tangga yang tidak ada habisnya jauh lebih mendesak daripada menonton
lomba-lomba tidak penting itu, begitu mungkin pikir kebanyakan ibu-ibu. Main
game online jauh lebih seru daripada ikut lomba makan kerupuk, begitu mungkin
pikir anak-anak.
Benar,
kan ? Di era kapitalisme seperti sekarang, orang-orang tidak mau melakukan
sesuatu yang tidak memberi keuntungan untuk diri sendiri. Boro-boro gotong
royong merayakan kemerdekaan, gotong royong dalam kehidupan sehari-hari pun
sudah menjadi barang langka. Padahal katanya gotong-royong adalah jati diri
bangsa Indonesia (menurut saya pernyataan ini cuma teori, buktinya sekarang
orang-orang sudah tidak bergotong-royong tapi KTP mereka masih Indonesia. LOL).
illustrasi gotong royong, gambar pinjam pixabay |
Kenapa
saya bilang budaya gotong royong sudah menjadi barang langka ? Banyak contohnya
di sekitar saya, saya yakin banyak juga contohnya di sekitar Anda. Dulu,
orang-orang di sini saling peduli pada tetangga. Kalau got sudah kelihatan
kotor, warga ramai-ramai kerja bakti membersihkannya. Kalau ada yang sakit
cepat-cepat dijenguk. Kalau ada tetangga meninggal, yang lain cepat-cepat
membantu apa saja untuk keluarga duka. Kalau ada yang sedang hajatan, para
tetangga turut membantu di dapur dan bersuka cita bersama. Sekarang apa-apa
dihitung pakai uang. Kerja bakti bayar orang. Sekalinya diadakan kerja bakti
karena ada anak-anak KKN. Peduli pada tetangga hanya ketika si tetangga kena
gosip, barulah yang lain peduli sekali (peduli pada gosipnya, maksudnya).
Lalu
sebagai perempuan, apa yang bisa kita lakukan ? Banyak. Saya pernah dengar
sebuah ungkapan : kebaikan suatu bangsa
dilihat dari perempuannya, kalau perempuannya baik maka baik pula bangsa itu,
kalau perempuannya buruk, maka buruk pula bangsa itu. Mari kita mulai
dengan hal kecil seperti : tersenyum tiap kali bertemu orang, kenal atau tidak
; memberikan semangkuk sayur pada rumah sebelah ; mengajak anak bermain di luar
rumah ; menyimpan smartphone ketika berada di suatu acara ; memasak untuk
tetangga yang sedang berduka ; membuka pintu rumah ketika tetangga sedang
hajatan ; dan masih banyak lagi.
Ayolah,
Indonesia sudah berusia 71 tahun sekarang. Mari kita kembalikan budaya gotong
royong pada negeri kita. ^_^
Alhamdulillah mbak di lingkungan rumahku di Surabaya masih ada lomba-lomba. Bahkan kerja bakti pun masih sering dilaksanakan. Jadi insyaAllah gotong royong ini masih ada yang menerapkan :D Malah ada rumah sakit di sini namanya rumah sakit gotong royong :v
ReplyDeletewiihhh kereennn tuh warganya mbak
Deletealhamdulillah, di tempat tinggalku masih ada gotong royong, itupun yg aktif buibunya .. hidup buibu !
ReplyDeletehidup ibuibu ! emang biasanya yang rajin bersosialisasi ibuibu ya?
DeleteTahun ini tempatku perayaannya rame, Mbak... beda sama tahun lalu
ReplyDeleteLomba buat anak kecil sampai orang tua, ada
terus hari Sabtu besok juga ada karnaval...
wah rame banget dong ya? di sini nggak ada apa-apa tuh :(
Delete"memberikan semangkuk sayur pada rumah sebelah"
ReplyDeletejadi ingat ibu saya.
ibunya pasti suka bagi-bagi sama tetangga ya ?
DeleteMau dong jd tetangganya
DeleteHehehe
Hmmm, tadi ada perayaan 17 an di RT saya. Lomba anak-anak. Tapi ya gak seseru jaman dulu sih.
ReplyDelete