Bagi
yang berteman dengan saya di facebook (saya tidak punya fanspage, tidak ada yang ngefans juga. LOL) mungkin ngeh kalau beberapa hari terakhir saya
sering posting paragraf-paragraf sok bijak. Bukan apa-apa, belakangan ini saya
seringkali menyadari bahwa peristiwa kecil sehari-hari sebenarnya menyimpan
banyak pelajaran. Mungkin dulu saya kurang peka, atau baru-baru ini saya
kelewat sensitif. Yang mana saja lah. Tapi karena saya mempelajari hal baik,
saya ingin membagikannya. Seperti visi JurnalSaya, spread the love and positive vibes.
Ceritanya,
saya sedang mengikuti MUA class. Banyak sekali pelajaran yang saya dapat. Bukan
hanya soal teknik atau pengalaman seru dengan klien, tapi jauh lebih banyak
dari itu. Surprisingly, saya belajar
banyak tentang hidup, networking,
sampai persoalan mitos-fakta yang berkembang di sekitar. Sebelumnya saya tidak
pernah tahu ada mitos bahwa pengantin tidak boleh didandani oleh MUA yang
berstatus divorcee. Bukankah itu
bentuk diskriminasi ? Alasannya, takut kalau nantinya si pengantin menjadi divorcee juga. Tidak masuk akal kan ?
Ada juga mitos yang sangat dipercayai oleh banyak warga di satu desa ; pasangan
pengantin tidak boleh mengenakan pakaian berwarna hijau neon muda. Alasannya :
ya tidak boleh saja, pokoknya jangan sampai! Lebih tidak masuk akal.
Bagi
yang ingin tahu, kelas yang saya ikuti mengharuskan peserta membawa model
sendiri. Awalnya semua berjalan lancar. Saya punya model yang sudah setuju
untuk saya kontrak selama saya mengikuti kelas. Ternyata itu cuma keberuntungan
pemula. Baru tiga kali masuk, model saya tiba-tiba banyak acara. Tapi saya
tidak bisa mundur hanya karena model saya mundur, ‘kan ? Bagaimanapun juga,
saya harus menemukan pengganti. Bisa saja sih, merekrut model bayaran. Tapi
tutor saya pernah bilang, “cari tetangga atau teman-teman”. Jadi saya yakin
pasti ada pelajaran di balik “mencari model” itu.
Mencari
teman di dunia nyata yang bersedia membantu bukan perkara mudah bagi introvert
macam saya. FYI, saya nyaris tidak punya teman di dunia nyata. Serius.
Teman-teman yang masih ada kontak dengan saya hanya beberapa teman dekat semasa
kuliah dan beberapa teman sesama blogger. Padahal sebagian besar teman SD saya
tinggal di desa yang sama dengan saya. Tapi saya memang bukan orang yang bisa
mengobrol dengan semua orang.
Bukannya
saya anti sosial, saya tersenyum ketika berpapasan dengan tetangga dan
menundukkan kepala pada orang yang lebih tua. Saya orang yang menjawab setiap
kali ditanya dan bertanya jika saya butuh jawaban. Bukannya saya tidak mau
berbasa-basi, tapi saya merasa basi sendiri jika mengobrol tanpa tujuan atau
menanyakan hal-hal yang tidak krusial.
Saya
tidak bisa berbasa-basi, “mau belanja, mbak?” pada tetangga yang sedang
berjalan menuju warung. Atau bertanya, “anaknya umur berapa?” pada ibu-ibu yang
menggandeng anak balitanya di preschool.
Atau tiba-tiba menyahut, “si anu anaknya pak nganu itu ya? Wah, kok belum
dengar kabarnya ya?” pada rumpian yang sedang berlangsung seru di depan mata
saya. Simply karena saya sudah tahu
jawabannya, atau karena saya tidak ingin tahu jawabannya.
Sesungguhnya
saya iri pada orang-orang yang memiliki kemampuan berbasa-basi, yang bisa
membaur dengan komunitas apa saja, yang dapat dengan mudah beradaptasi pada
pergaulan baru tanpa mengurangi totalitas pada pergaulan lama, yang berteman
semudah berjabat tangan.
Beberapa
teman saya punya kemampuan itu. Ekstrovertnya luar biasa. Sangat alami.
Temannya banyak, setiap kali melangkahkan kaki, ada saja yang menyapanya dengan
nada akrab. Bukan karena dia cantik, pintar, atau kaya. Tapi karena dia mudah
berteman, asik diajak mengobrol, dan pandai membawa diri. Sementara bagi saya,
beradaptasi dengan orang-orang baru sama sulitnya dengan memasukkan bola basket
ke ring. Which means : butuh perjuangan ekstra dan banyak gagalnya.
Tapi
setiap orang memiliki kelebihan dan tantangan masing-masing ‘kan ?
Jadi
itulah tantangan saya : berkomunikasi secara verbal pada orang-orang terdekat
di dunia nyata. Percayalah, ada satu hari penuh yang saya habiskan untuk
bertamu ke rumah-rumah tetangga, meminta salah satunya menjadi model saya. Dan
hasilnya nihil. Alasannya kalau bukan “saya suka sebenarnya, tapi punya anak
kecil” ya “saya sih mau, tapi tidak punya waktu”. Intinya tidak bersedia. Saya
sudah hampir desperate sebenarnya,
saking desperate-nya saya bahkan
mencari orang via cyber. Saya benar-benar mencari. Saya scrolling instagram, search via map
dan hashtag nama daerah namun tidak
menemukan siapa-siapa. Tapi saya tidak boleh give up. Kalau saya tidak
berhasil menyelesaikan tantangan yang terdengar sepele, bagaimana saya bisa
naik kelas ?
Kemudian
saya mendapatkan beberapa orang, bukan dari searching
di social media atau mengetuk pintu demi pintu. Ternyata beberapa kerabat
keluarga bersedia, seorang teman SD bersedia, dan seorang kenalan bersedia.
Meskipun
usaha saya keliling kampung dan woro-woro di media sosial tidak membuahkan
hasil, ada hikmah yang dapat saya ambil. Saya terhubung lagi dengan teman-teman
lama. Saya mengunjungi sudut desa yang seumur-umur belum pernah saya lirik. Saya
berbicara dengan orang-orang yang seumur-umur belum pernah saya sapa. Saya mengerti
bagaimana cara berusaha. Saya mengerti arti kata silaturahmi. Saya mengerti
implementasi gotong royong. Dan saya mengerti bagaimana caranya berbasa-basi.
Pada
akhirnya, yang saya pelajari dari sesi ini adalah : berbasa-basilah, berbicaralah,
bertemanlah, karena menjalin silaturahmi tidak ada hubungannya dengan sifat
ekstrovert atau introvert ^_^
cerdas dan this is really and nyata....
ReplyDeletesukses selalu nok..
Pak Anas ini? Aduh, terharu sekali dikomen sama bapak dosen paling baik di dunia 😊
DeleteTerimakasih Pak.
Aku dulu diem doang kl ketemu orang, bukan congkak bukan sombong, tapi malu hihihihi, malu & bingung ntar musti ngomong apa, jadi banyak yg bilang aku jutek & sombong. Untungnya punya suami yg extrovert beraaat, jadi bisa diimbangi sama suami :D kadang orang bilang don't judge a book by it's cover, kalau menurut aku don't judged by cover, tapi tetep boleh lah basa basi dikit ahahah #naooon
ReplyDeleteSama banget ya mbak, bingung kalo membuka percakapan 😊
Deleteyap, mengalami sulit bergaul krna beberapa kali pindah di daerah tanpa kerabat. ntah saya tipe introvent dan extrovent tp ternyata klo ada kemauan (sedikit kepepet keadaan juga sih) mesti bisa
ReplyDeleteBener banget,kalo kepepet jadi bisa semua 😅
DeleteAku juga kaya gitu, Mbak. :) Aku suka gugup kalau berhadapan langsung sama orang. Padahal sering jadi pembicara di depan banyak orang.
ReplyDeletesaya jg mirip mbak, hehe,
ReplyDeletesya cenderung malas basa basi, apalagi kalo ga penting,
eh iya MUA itu apa ya mbak?
Saya malah nggak kenal orang-orang di sekitar rumah lho, Mbak. Serius. Bukan karena introvert, tapi karena kegiatannya banyak di luar rumah. Saya tahu saya salah. Tapi memulainya gimana juga ya :))
ReplyDeleteMbaa, aku walau keliatannya cerewet, tapi bisa jadi pendiam kalau nggak pede :)
ReplyDeleteSaya pun introvert dan cuma bisa bercerita ngalor ngidul dengan orang2 yang udah bikin nyaman dan pastinya mulut mereka nggak rombeng. Teman2 saya di keseharian memang pilihan, saya cuma berteman dg orang yang paham saling menghargai privacy masing2 :)
ReplyDeleteAku tergantung sikon mbak, kadang jg khawatir dibilang sok akrab hehe
ReplyDeleteBtw sukses buat MUA class-nya :D
aku ngerasa ekstrovert, but sometime i become introvert :(
ReplyDeletehttp://www.febtarinar.com/2017/01/hootd-at-parlor.html
aku enggak pny fans tp punya fanpage, siapa tau trs ada yg nge-fans hahahah *minta di keplak*
ReplyDeleteakupun tau bgt ini rasanya susah basa basi apalg di real life huhu aku jd sering dikira sombong karena jarang basa basi, mana muka ku judes bawaan nya :s
Ray,
www.rayditaa.com