Membaca
beberapa chapter awal buku ini, saya
merasa seperti... mendapat surat cinta dari pengagum rahasia. Hahahaha...
Abaikan kenarsisan saya! Tapi serius, ketika saya membacanya, saya merasa tokoh
"kamu" yang dimaksud itu saya. Rasanya seperti paragraf-paragraf berima itu ditulis khusus untuk saya.
Peringatan : ada sedikit unsur baper dalam tulisan ini. Jangan baper!
Mari
mundur sejenak.
Awalnya,
saya mengira Fiersa Besari itu nama perempuan. Agak-agak mengingatkan saya pada
nama Fira Basuki sebenarnya. Dan itulah alasan pertama saya memcomot Garis
Waktu ini dari rak Gramedia. Alasan keduanya,
tentu saja karena desain sampulnya yang clean,
kekinian, dan romantis. Sagitarian is an
extraordinary romantic person, right?
But then, saya salah sangka karena Fiersa Besari ternyata
laki-laki. FYI, saya baru membaca biografinya setelah membaca tiga atau empat
bab. Lalu saya mengulang lagi membaca dari bab pertama. Dengan kacamata orang
pertama laki-laki. Namun tidak bisa. Kemudian ya.... saya menikmati peran
sebagai tokoh "kamu" yang dipuja dan dicinta.
It feels like "aku" mencintai saya tanpa syarat (baca
tulisan saya tentang cinta tanpa syarat). Tentu saja saya suka. Siapa yang
tidak meleleh dipuja sedemikian rupa, dituliskan kalimat-kalimat berirama,
serta disebut dalam setiap doa? Meskipun, ya... jujur saja tidak masuk di akal
saya. Siapa yang mau menjadi tempat sampah; tujuan pertama untuk berkeluh
kesah? Siapa yang sudi menjadi cadangan; baru dipertimbangkan setelah pemain
utama meninggalkan arena? Siapa yang rela menjahit luka yang timbul bukan
karena dirinya? Sebegitu tidak egoisnya kah "aku" sehingga ia mampu
menjadi tempat sampah, pemain cadangan, sekaligus doktet penjahit luka?
Tidak
juga. Saya menemukan sifat asli "aku" pada bab-bab tengah hingga
akhir. Ia egois. Ia ingin memiliki. Ia ingin dimengerti. Ia sama saja seperti
yang lain. Benar kan, tidak ada orang yang mencintai orang lain tanpa syarat.
Bukankah
di awal cerita "aku" menyatakan bersedia menjadi rumah dan siap
memberikan sayap supaya saya bisa terbang? Yang penting saya bahagia kan?
"aku" bilang ia tanpa pamrih kan? Lalu kenapa "aku" dengan
egoisnya mengejar mimpinya sendiri lantas menyalahkan saya atas resikonya?
Oke,
saya mulai tidak nyaman mengasosiasikan "kamu" sebagai saya. Jadi,
saya sebut "kamu" saja ya?
Bagaimanapun
juga, di buku ini karakter utamanya "aku". Tentu saja segalanya
"aku"-sentris. Karakter "kamu" berperan sebagai oposisi di
sini. Jika pada akhirnya "aku" yang selalu benar, siapa yang bisa
protes?
Buku
ini, buku ini. Dari tadi saya menyebutnya buku ini. Sebenarnya buku ini buku
apa? Dibilang novel, jelas tidak. Dibilang antologi puisi, tidak juga. Dibilang
non fiksi, apalagi. Saya kira ini bentuk prosa liris, benar? Ada cerita, ada
narasi, ada penokohan, berisi ungkapan perasaan, diksi
menyerupai syair, ada rima, tidak ada dialog. Seingat saya ciri-ciri prosa
liris.
Bentuk
prosa liris sendiri bukan sesuatu yang baru. Sudah ada sejak sebelum saya
lahir. Sudah ada juga di buku pelajaran bahasa Indoneaia sejak SD, SMP, hingga
SMA. Tapi saya baru ngeh pada bentuk prosa macam ini ketika SMA. Simply karena
saya masuk jurusan bahasa, ada mata pelajaran sastra indonesi, dan mempelajari
macam macam prosa. Waktu itu saya buta sekali soal prosa liris karena tidak
menemukan contohnya. Oh, ada contohnya, sastra klasik angkatan tua yang jujur
saja, membosankan.
Bagi
sebagian orang, membaca prosa liris seperti ini akan membosankan. Bagi sebagian
yang lain, mungkin menikmati karena mewakili perasaan sendiri. Kalau saya,, well... Saya membacanya karena
penasaran. Sudah saya bilang kan, saya suka bab-bab awalnya namun semakin ke
bab akhir saya menjadi bosan.
At least, karena desain covernya sangat
ciamik, Garis Waktu bisa menjadi teman perjalanan yang keren. Ketika menunggu
pesawat delay, atau di baca di atas kereta. Oh iya, untuk yang gemar memposting
quote di social media, hampir seluruh kalimat dalam buku ini quotable. Tinggal
culik satu dua yang mewakili isi hati. Tentu bukan itu saja. Saya memperoleh
beberapa pelajaran hidup melalui buku ini. Salah satu yang paling berharga
adalah : jangan terjebak dalam friendzone, nanti dikirim undangan loh! LOL
Sudah membaca Garis Waktu juga? Left your comment below
ya?
Judul : Garis Waktu
Penulis : Fiersa Besari
Penerbit : Media Kita, Jakarta
Tahun Terbit : 2016
Halaman : iv+212 halaman ; 13x19 cm
Bagus banget bukunya... Reviewnya nuga menarik..foto2 ya juga niat banget yang ditampilin
ReplyDeleteEnvy bangetiatnya
Foto untuk blog memang harus niat dong 😊
DeleteTrims sudah mampir.
Belum bacaa nih. Jadi penasaran pengen baca full. Tfs sharingnyaa. Salam kenal yak 😁🙏
ReplyDeleteAku kira dari awal kamu ini review novel kak.
ReplyDeleteHihihi jangan terjebak dalam friendzone, nanti dikirim undangan loh... bener juga yak :D
kaa saya mau tanyaa, jadi buku garis waktu ini fiksi/non fiksi yah?
ReplyDeletemohon jawabannya kaa
Fiksi
Delete