Ini tuh jamak
banget. Enggak hanya dua atau tiga kenalan saya yang mengalami. Banyak yang
dengan berani mengakuinya secara terbuka. Enggak sedikit juga yang menutupi
faktanya sampai akhir. Saya enggak bisa ngejudge dua-duanya. Bagaimanapun juga,
setiap pilihan lahir dari berbagai pertimbangan.
Saya enggak akan
ngomongin ini dari sisi agama karena ya semua agama menganggap ini dosa. Tapi
ayolah, kita semua punya dosa kok. Cuma jenis dosanya aja beda. Dan setiap kita
enggak berhak mendikte pilihan dosa dari masing-masing kita yang lain.
Well, hamil di luar
nikah itu enggak bisa dibilang sebagai pilihan hidup mayoritas orang sih ya.
Sebagian besar perempuan yang mengalami ini atas dasar ketidaksengajaan. Yakin
sih perempuan-perempuan ini sudah pakai alat kontrasepsi. Sayangnya alat
kontrasepsi enggak bisa 100% diandalkan. Ada aja bocornya.
Oh, plis jangan
bilang “kalau enggak mau hamil dan punya anak ya jangan having sex”. Gini ya,
having sex dan having baby itu dua hal yang berbeda. Having baby itu bentuk
dari komitmen, atau tradisi. Sementara having sex itu pure lust, kinda
basic-primal-needs. Everybody does. In many forms. Secretly.
If You Find The Scary Two Red Stripes
Flash forward, apa
yang harus dilakukan saat kalian menemukan dua garis merah di testpack suatu
hari sedangkan kalian belum menikah? First thing’s first, jangan panik, enggak
usah nangis. Kalau panik, kalian enggak bisa mikir. Kalau enggak bisa mikir,
nanti kalian malah kepikiran mau bunuh diri. Jangan ya. Selow aja, coba
testpack lain (meskipun biasanya hasilnya sama sih).
Kedua, pastikan
siapa partner kalian dua hingga tiga bulan terakhir. Syukur kalau kalian
penganut prinsip monogami, jadi jelas yang mana bapaknya. Menurut pengalaman
dan seingat saya, sehabis testpack, pas ketemu dokter ternyata udah jalan 8
weeks.
Ketiga, tell
somebody. Bilang ke sahabat yang paling kalian percaya. Jangan sok bisa
mengatasi segalanya sendirian. Kalian butuh bantuan. Kalian butuh ditemani.
Kalian butuh insight yang waras. Jangan dulu pikirin gimana caranya bilang ke
orang tua. Saya tahu bagian ini sangat sangat sangat berat. Apalagi kalau orang
tua kalian jenis yang konservatif-tradisional-relijius plus orang terpandang.
Kalau enggak punya
sahabat yang kalian nyaman untuk cerita, temui professional. Entah itu psikolog
atau lembaga pemerhati perempuan. Banyak kok yang nyaut pas diemail.
Keempat, bilang ke
partner. Kalau kalian sudah dewasa (24+), sekalian aja diskusikan secara
dewasa. Mau diapain itu calon anak kalian? Apa kalian akan menikah? Gimana cara
bilang ke orang tua kedua belah pihak?
Kalau kalian belum
cukup umur (di bawah 24 tahun termasuk kategori belum cukup umur untuk menikah
kalau kata saya), ya tetep aja kalian harus diskusi bareng partner. Masa udah
bisa having sex enggak bisa diskusi baik-baik?
Setelah bilang ke
partner, respon yang kalian dapet biasanya ada 2 jenis: partner nyuruh aborsi,
atau partner ngajakin nikah. Kalau partner kalian nyuruh aborsi, tinggalin.
Tandanya dia enggak sesayang itu pada kalian, dan dia tipe orang enggak mau
tanggung jawab. Dan fyi, aborsi di Indonesia itu masih dianggap tindakan
kriminal (kecuali karena rekomendasi dokter atau korban perkosaan).
Kalau partner
kalian ngajak nikah, ya jangan auto terima juga. Menikah itu bukan satu-satunya
(meski masih jadi yang paling popular) jalan keluar untuk perkara hamil di luar
nikah. Pre-marriage talks tetap penting.
Baca : Pre-MarriageTalks I Didn’t Do
Bahkan, saya selalu
menjadi orang yang skeptis dan mengatakan “jangan menikah hanya karena kamu
hamil” pada teman yang akan menikah, dan sedang hamil. Serius deh, hamil itu
bukan alasan untuk memulai pernikahan.
Gini deh, menikah
itu seperti berjalan di atas lapisan es tipis. Bisa ambrol kapan saja.
Pernikahan yang direncanakan dengan seksama aja masih menghadapi resiko
perceraian. Gimana dengan pernikahan yang dipercepat, atau bahkan dipaksakan?
Ya bercerai enggak apa-apa juga sih sebenernya.
Baca : KenapaBercerai?
“Tapi nyatanya banyak
kok yang married by accident dan rumah tangganya baik-baik aja,” sanggah
kalian.
“Tapi kalian tahu
enggak, banyakan mana dengan yang rumah tangganya berujung perceraian?” saya
balik menyanggah.
Lalu kalau enggak
menikah, enggak bisa aborsi, solusinya apa? Ya lahirkan anak kalian, lalu
besarkan sendiri, atau minta orang lain mengadopsi. Kalian enggak siap hamil
dan melahirkan. Saya ngerti. Tapi kalian harus. Kan sudah terlanjur. Anggap
saja proses hamil dan melahirkan itu hukuman untuk kalian yang sudah berani
melanggar larangan Tuhan.
Kalau kalian
kemudian enggak sanggup membesarkan si anak, ya enggak usah dipaksain besarin
si anak sendiri. Minta orang lain mengadopsi, seperti yang saya bilang tadi.
Bodo amat orang bilang kalian ibu yang enggak bertanggung jawab, atau ibu yang
enggak sayang anak. Justru itu bentuk tanggung jawab dan kasih sayang kalian.
Kepada anak dan diri kalian sendiri.
If You Want To Raise The Kid On Your Own
Oke. Lalu anggaplah
kalian secinta itu pada anak kalian sehingga kalian rela membesarkan si anak
sendiri. Bagi seluruh expenses untuk anak dengan partner. Holy crap, itu anak
kalian berdua. Tanggung jawabnya bagi dua dong!
Oh, jangan ngikutin
saya yang enggak mau nerima sepeser pun dari mantan suami. Kalian punya cerita
lain. Jangan jadi feminis keras kepala juga. Jadilah orang baik dengan
membiarkan partner kalian membuktikan tanggung jawabnya. Kecuali partner kalian
brengseknya enggak ketulungan.
Selain soal uang,
kalian juga perlu menegaskan detail lain dengan partner. Apakah akan
menjalankan co-parenting atau kalian aja cukup. Apakah partner akan dikenalkan
pada si anak suatu hari kelak atau enggak. Ngenalinnya sebagai ayah biologis
atau gimana. Akan dikenalin juga dengan orang tua si partner sebagai kakek-nenek
atau enggak. Kalau kalian ada dinas luar kota, si anak nanti mau diasuh partner
atau dititip ke orang tua kalian aja.
Secara garis besar
mirip seperti saat mempertimbangkan perceraian sih.
Baca : SebelumMemutuskan Bercerai
Tapi saya bilang
dulu. Kalian akan rentan menerima cemoohan baik verbal maupun non verbal dari
orang sekitar kalau kalian membesarkan anak tanpa suami. Dan keluarga kalian
belum tentu setuju dengan solusi begini.
Baca : Dirty LittleSecret
If You Have To Marry The Guy
Enggak bisa
dipungkiri pasti ada saja di antara kalian yang pada akhirnya harus menikah karena
hamil. Alasan klasik seperti menjaga nama baik keluarga
biasanya merupakan andil besar mengapa kalian harus menikah. Entah itu menikahi
partner yang menghamili kalian atau menikahi relawan yang dicarikan oleh orang
tua.
I know, opsi kedua
itu terlampau pahit. Eh, tapi kalau partner yang menghamili kalian itu jenis
yang menyuruh kalian aborsi ya mending nikah sama orang lain sih. Ya maksud
saya nikahnya bukan sekarang juga pas kalian sedang hamil.
Soal menikahi
partner yang menghamili ini, saya ingat seorang teman waktu ngasih advise ke
teman lain. Katanya (kurang lebih): “Pre-marriage talks, ngomongin visi-misi
penikahan, segala macem itu untuk pasangan yang berencana menikah sejak
jauh-jauh hari. Kalau kamu sekarang situasinya beda. Dia itu ayah dari anak
yang kamu kandung, dia yang udah dipilihin buat kamu. Tugas kalian bukan
mencari yang satu visi misi, tapi menyatukan visi misi kalian. Melakukan yang
terbaik untuk rumah tangga kalian ke depan”.
Panjang juga
nasihatnya.
Saya, jujur saja,
enggak setuju. Tapi nasihatnya bagus, bisa jadi insight buat pertimbangan
kalian.
Tapi
ngomong-ngomong nih ya, menikah dengan alasan menjaga nama baik keluarga itu
udah enggak relevan. Para tamu undangan dan netizen (kalau kalian mengunggah
momen nikahan ke instagram) itu borderline kritis dan keponya. Kalau kalian
nikah bulan Juni misalnya, lalu melahirkan bulan Desember, ya skandal-skandal tetap
tersebar. Mau mengelak dengan alasan anak lahir prematur tapi kalian unggah
foto si bayi dengan kepsyen berat dan panjang 3kg/95 cm ya percuma.
Notes: Other
Problems
Gini, kalau kalian
enggak nikah, kalian bisa bikin akte anak hanya mencantumkan nama kalian
sebagai ibu. Enggak perlu nama ayah. Kalau ngurus keperluan administratif
kemudian hari akan lebih gampang. Tapi kalau kalian tinggal di desa, mungkin
akte anak akan dipertanyakan pas daftar TK.
FYI, enggak semua TK di desa begini sih.
Kalau kalian
menikah, dan tanggal lahir si anak selisihnya kurang dari 4 bulan dari tanggal
pernikahan, si anak tetap dianggap sebagai anak di luar pernikahan. Kalian harus
bikin semacam surat pernyataan yang menyatakan itu anak kandung kalian berdua.
Well, bisa sih
tanggal lahir si anak diundur (pemalsuan data ya tapi masuknya). Kalian bisa
bohongin orang, tapi enggak bisa bohongin Tuhan.
Kalau kalian
muslim, anak yang di luar pernikahan, nasabnya ikut ibunya. Si anak enggak
berhak atas warisan yang ditinggalkan ayah biologisnya. Kalau anak kalian
perempuan, kelak saat menikah, ayah biologisnya enggak bisa jadi wali nikahnya.
Kalau ayah biologisnya yang jadi wali, pernikahan si anak enggak sah. Kasihan loh.
Tadi bilangnya
enggak mau ngomongin dari sisi agama tapi akhirnya nyangkut agama juga. Hahaha labil.
If They’re Your
Friend
Poin terakhir. Gimana
kalau yang mengalami perkara hamil di luar nikah ini orang terdekat kalian dan
kalian yang nerima curhatannya? Bingung? Pasti. Enggak tahu mau bilang apa? Benar.
Ikutan nyesek? Jelas.
Yang harus kalian
inget, kalau kalian jadi orang yang dicurhati, artinya kalian orang yang paling
mereka percaya. Jangan rusak kepercayaan itu. Dengerin aja curhatnya sampe
kelar, nangis bareng, pelukan.
Mereka butuh
dikuatkan, direassure kalau mereka akan baik-baik saja, kalau mereka tetap
berharga. Jangan dijudge, jangan bilang apapun dengan awalan “seharusnya kamu bla
bla bla”, dan jangan suruh mereka segera nikah.
Tawarkan saja
bantuan, tempat tinggal (in case mereka terancam diusir dari rumah), menemani
bilang ke orang tua, kenalan professional, dan sebagainya. Kalau mereka tanya mereka
harus ngapain, baru berikan saran yang obyektif.
Intinya sih,
perkara hamil sebelum menikah itu rumit. Jadi, jangan lupa pakai pengaman. Eh,
maksud saya ... well, terserah kalian sih. Pembaca Jurnal Saya udah gede semua
kan?
Kiss kiss.
Kak..... Tulisan-tulisannya keren bgt!!!! Bikin buku please :3
ReplyDeleteI like your thoughts mba. 😊
ReplyDelete