PERKARA HAMIL DI LUAR NIKAH

2 comments


Ini tuh jamak banget. Enggak hanya dua atau tiga kenalan saya yang mengalami. Banyak yang dengan berani mengakuinya secara terbuka. Enggak sedikit juga yang menutupi faktanya sampai akhir. Saya enggak bisa ngejudge dua-duanya. Bagaimanapun juga, setiap pilihan lahir dari berbagai pertimbangan.


Saya enggak akan ngomongin ini dari sisi agama karena ya semua agama menganggap ini dosa. Tapi ayolah, kita semua punya dosa kok. Cuma jenis dosanya aja beda. Dan setiap kita enggak berhak mendikte pilihan dosa dari masing-masing kita yang lain.

Well, hamil di luar nikah itu enggak bisa dibilang sebagai pilihan hidup mayoritas orang sih ya. Sebagian besar perempuan yang mengalami ini atas dasar ketidaksengajaan. Yakin sih perempuan-perempuan ini sudah pakai alat kontrasepsi. Sayangnya alat kontrasepsi enggak bisa 100% diandalkan. Ada aja bocornya.

Oh, plis jangan bilang “kalau enggak mau hamil dan punya anak ya jangan having sex”. Gini ya, having sex dan having baby itu dua hal yang berbeda. Having baby itu bentuk dari komitmen, atau tradisi. Sementara having sex itu pure lust, kinda basic-primal-needs. Everybody does. In many forms. Secretly.

If You Find The Scary Two Red Stripes

Flash forward, apa yang harus dilakukan saat kalian menemukan dua garis merah di testpack suatu hari sedangkan kalian belum menikah? First thing’s first, jangan panik, enggak usah nangis. Kalau panik, kalian enggak bisa mikir. Kalau enggak bisa mikir, nanti kalian malah kepikiran mau bunuh diri. Jangan ya. Selow aja, coba testpack lain (meskipun biasanya hasilnya sama sih).

Kedua, pastikan siapa partner kalian dua hingga tiga bulan terakhir. Syukur kalau kalian penganut prinsip monogami, jadi jelas yang mana bapaknya. Menurut pengalaman dan seingat saya, sehabis testpack, pas ketemu dokter ternyata udah jalan 8 weeks.

Ketiga, tell somebody. Bilang ke sahabat yang paling kalian percaya. Jangan sok bisa mengatasi segalanya sendirian. Kalian butuh bantuan. Kalian butuh ditemani. Kalian butuh insight yang waras. Jangan dulu pikirin gimana caranya bilang ke orang tua. Saya tahu bagian ini sangat sangat sangat berat. Apalagi kalau orang tua kalian jenis yang konservatif-tradisional-relijius plus orang terpandang.

Kalau enggak punya sahabat yang kalian nyaman untuk cerita, temui professional. Entah itu psikolog atau lembaga pemerhati perempuan. Banyak kok yang nyaut pas diemail.
Keempat, bilang ke partner. Kalau kalian sudah dewasa (24+), sekalian aja diskusikan secara dewasa. Mau diapain itu calon anak kalian? Apa kalian akan menikah? Gimana cara bilang ke orang tua kedua belah pihak?

Kalau kalian belum cukup umur (di bawah 24 tahun termasuk kategori belum cukup umur untuk menikah kalau kata saya), ya tetep aja kalian harus diskusi bareng partner. Masa udah bisa having sex enggak bisa diskusi baik-baik?

Setelah bilang ke partner, respon yang kalian dapet biasanya ada 2 jenis: partner nyuruh aborsi, atau partner ngajakin nikah. Kalau partner kalian nyuruh aborsi, tinggalin. Tandanya dia enggak sesayang itu pada kalian, dan dia tipe orang enggak mau tanggung jawab. Dan fyi, aborsi di Indonesia itu masih dianggap tindakan kriminal (kecuali karena rekomendasi dokter atau korban perkosaan).

Kalau partner kalian ngajak nikah, ya jangan auto terima juga. Menikah itu bukan satu-satunya (meski masih jadi yang paling popular) jalan keluar untuk perkara hamil di luar nikah. Pre-marriage talks tetap penting.
Baca : Pre-MarriageTalks I Didn’t Do
Bahkan, saya selalu menjadi orang yang skeptis dan mengatakan “jangan menikah hanya karena kamu hamil” pada teman yang akan menikah, dan sedang hamil. Serius deh, hamil itu bukan alasan untuk memulai pernikahan.

Gini deh, menikah itu seperti berjalan di atas lapisan es tipis. Bisa ambrol kapan saja. Pernikahan yang direncanakan dengan seksama aja masih menghadapi resiko perceraian. Gimana dengan pernikahan yang dipercepat, atau bahkan dipaksakan? Ya bercerai enggak apa-apa juga sih sebenernya.
Baca : KenapaBercerai?
“Tapi nyatanya banyak kok yang married by accident dan rumah tangganya baik-baik aja,” sanggah kalian.

“Tapi kalian tahu enggak, banyakan mana dengan yang rumah tangganya berujung perceraian?” saya balik menyanggah.

Lalu kalau enggak menikah, enggak bisa aborsi, solusinya apa? Ya lahirkan anak kalian, lalu besarkan sendiri, atau minta orang lain mengadopsi. Kalian enggak siap hamil dan melahirkan. Saya ngerti. Tapi kalian harus. Kan sudah terlanjur. Anggap saja proses hamil dan melahirkan itu hukuman untuk kalian yang sudah berani melanggar larangan Tuhan.

Kalau kalian kemudian enggak sanggup membesarkan si anak, ya enggak usah dipaksain besarin si anak sendiri. Minta orang lain mengadopsi, seperti yang saya bilang tadi. Bodo amat orang bilang kalian ibu yang enggak bertanggung jawab, atau ibu yang enggak sayang anak. Justru itu bentuk tanggung jawab dan kasih sayang kalian. Kepada anak dan diri kalian sendiri.

If You Want To Raise The Kid On Your Own

Oke. Lalu anggaplah kalian secinta itu pada anak kalian sehingga kalian rela membesarkan si anak sendiri. Bagi seluruh expenses untuk anak dengan partner. Holy crap, itu anak kalian berdua. Tanggung jawabnya bagi dua dong!

Oh, jangan ngikutin saya yang enggak mau nerima sepeser pun dari mantan suami. Kalian punya cerita lain. Jangan jadi feminis keras kepala juga. Jadilah orang baik dengan membiarkan partner kalian membuktikan tanggung jawabnya. Kecuali partner kalian brengseknya enggak ketulungan.

Selain soal uang, kalian juga perlu menegaskan detail lain dengan partner. Apakah akan menjalankan co-parenting atau kalian aja cukup. Apakah partner akan dikenalkan pada si anak suatu hari kelak atau enggak. Ngenalinnya sebagai ayah biologis atau gimana. Akan dikenalin juga dengan orang tua si partner sebagai kakek-nenek atau enggak. Kalau kalian ada dinas luar kota, si anak nanti mau diasuh partner atau dititip ke orang tua kalian aja.

Secara garis besar mirip seperti saat mempertimbangkan perceraian sih.
Baca : SebelumMemutuskan Bercerai
Tapi saya bilang dulu. Kalian akan rentan menerima cemoohan baik verbal maupun non verbal dari orang sekitar kalau kalian membesarkan anak tanpa suami. Dan keluarga kalian belum tentu setuju dengan solusi begini.
Baca : Dirty LittleSecret
If You Have To Marry The Guy

Enggak bisa dipungkiri pasti ada saja di antara kalian yang pada akhirnya harus menikah karena hamil. Alasan klasik seperti menjaga nama baik keluarga biasanya merupakan andil besar mengapa kalian harus menikah. Entah itu menikahi partner yang menghamili kalian atau menikahi relawan yang dicarikan oleh orang tua.

I know, opsi kedua itu terlampau pahit. Eh, tapi kalau partner yang menghamili kalian itu jenis yang menyuruh kalian aborsi ya mending nikah sama orang lain sih. Ya maksud saya nikahnya bukan sekarang juga pas kalian sedang hamil.

Soal menikahi partner yang menghamili ini, saya ingat seorang teman waktu ngasih advise ke teman lain. Katanya (kurang lebih): “Pre-marriage talks, ngomongin visi-misi penikahan, segala macem itu untuk pasangan yang berencana menikah sejak jauh-jauh hari. Kalau kamu sekarang situasinya beda. Dia itu ayah dari anak yang kamu kandung, dia yang udah dipilihin buat kamu. Tugas kalian bukan mencari yang satu visi misi, tapi menyatukan visi misi kalian. Melakukan yang terbaik untuk rumah tangga kalian ke depan”.

Panjang juga nasihatnya.

Saya, jujur saja, enggak setuju. Tapi nasihatnya bagus, bisa jadi insight buat pertimbangan kalian.

Tapi ngomong-ngomong nih ya, menikah dengan alasan menjaga nama baik keluarga itu udah enggak relevan. Para tamu undangan dan netizen (kalau kalian mengunggah momen nikahan ke instagram) itu borderline kritis dan keponya. Kalau kalian nikah bulan Juni misalnya, lalu melahirkan bulan Desember, ya skandal-skandal tetap tersebar. Mau mengelak dengan alasan anak lahir prematur tapi kalian unggah foto si bayi dengan kepsyen berat dan panjang 3kg/95 cm ya percuma.

Notes: Other Problems

Gini, kalau kalian enggak nikah, kalian bisa bikin akte anak hanya mencantumkan nama kalian sebagai ibu. Enggak perlu nama ayah. Kalau ngurus keperluan administratif kemudian hari akan lebih gampang. Tapi kalau kalian tinggal di desa, mungkin akte anak akan dipertanyakan pas daftar TK.  FYI, enggak semua TK di desa begini sih.

Kalau kalian menikah, dan tanggal lahir si anak selisihnya kurang dari 4 bulan dari tanggal pernikahan, si anak tetap dianggap sebagai anak di luar pernikahan. Kalian harus bikin semacam surat pernyataan yang menyatakan itu anak kandung kalian berdua.

Well, bisa sih tanggal lahir si anak diundur (pemalsuan data ya tapi masuknya). Kalian bisa bohongin orang, tapi enggak bisa bohongin Tuhan.

Kalau kalian muslim, anak yang di luar pernikahan, nasabnya ikut ibunya. Si anak enggak berhak atas warisan yang ditinggalkan ayah biologisnya. Kalau anak kalian perempuan, kelak saat menikah, ayah biologisnya enggak bisa jadi wali nikahnya. Kalau ayah biologisnya yang jadi wali, pernikahan si anak enggak sah. Kasihan loh.

Tadi bilangnya enggak mau ngomongin dari sisi agama tapi akhirnya nyangkut agama juga. Hahaha labil.

If They’re Your Friend

Poin terakhir. Gimana kalau yang mengalami perkara hamil di luar nikah ini orang terdekat kalian dan kalian yang nerima curhatannya? Bingung? Pasti. Enggak tahu mau bilang apa? Benar. Ikutan nyesek? Jelas.

Yang harus kalian inget, kalau kalian jadi orang yang dicurhati, artinya kalian orang yang paling mereka percaya. Jangan rusak kepercayaan itu. Dengerin aja curhatnya sampe kelar, nangis bareng, pelukan.

Mereka butuh dikuatkan, direassure kalau mereka akan baik-baik saja, kalau mereka tetap berharga. Jangan dijudge, jangan bilang apapun dengan awalan “seharusnya kamu bla bla bla”, dan jangan suruh mereka segera nikah.

Tawarkan saja bantuan, tempat tinggal (in case mereka terancam diusir dari rumah), menemani bilang ke orang tua, kenalan professional, dan sebagainya. Kalau mereka tanya mereka harus ngapain, baru berikan saran yang obyektif.

Intinya sih, perkara hamil sebelum menikah itu rumit. Jadi, jangan lupa pakai pengaman. Eh, maksud saya ... well, terserah kalian sih. Pembaca Jurnal Saya udah gede semua kan?

Kiss kiss.

2 comments

Halo, terimakasih sudah mampir di JurnalSaya. Satu komentar Anda sangat berarti bagi saya.
Semua komentar dimoderasi ya. Komentar yang berisi pesan pribadi akan saya anggap spam.
Oiya, tolong jangan tinggalkan link hidup di badan komentar. Kisskiss