Punya anak itu kontrak seumur hidup. Sekali jalan enggak
ada jalur kembali. Bukan sekedar memberi makan dan membelikan mainan. Ada
kewajiban membentuk karakter, mengarahkan bakat, merangkai pola pikir, menempa
semangat juang. Dan hal-hal abstrak macam itu lebih sulit daripada membelikan
mainan.
Makanya saya selalu bilang having baby itu bentuk dari
komitmen. Mulai dari rutin mengonsumsi asam folat sejak hamil. FYI, asam folat adalah
nama lain dari vitamin B9 yang berfungsi membentuk DNA dan sel darah merah. Jika
kekurangan bisa beresiko bayi lahir cacat. Sekrusial itu fungsinya.
Setelah lahir, kalian perlu mengajarinya berbicara, berjalan,
berlari, berguling, melompat, bernyanyi, makan, minum, makan-minum sendiri, lalu
mengajarkan pula bagaimana caranya berhenti. Di kemudian hari, kalian harus
menjawab banyak pertanyaan serta menanggapi beragam tuntutan.
Besar sedikit lagi, saatnya mengajar cara bertarung,
dalam arti konotasi tentu saja. Anak kalian perlu tahu kapan harus bertahan dan
kapan harus menyerang. Mengajari cara menjadi pemenang dan bagaimana supaya menjadi
pemenang sedikit lebih lama lagi.
Tapi yang terpenting, kalian harus mengajarinya merasa
kecewa. Bahwa seringkali, dunia berjalan seperti sedang bercanda.
Show Them This
World Is A Huge Shit
Ini salah satu prinsip parenting yang saya pegang
selama ini. Memang enggak populer. Sebanyak yang saya baca, artikel dan
buku-buku parenting yang berseliweran selalu menganjurkan untuk memberikan
doktrin positif pada anak. Salah satunya dengan cara mengubah kalimat negatif menjadi
kalimat positif. Misalnya, “jangan lari” diganti “jalannya pelan-pelan aja” and
stuffs.
Golongan ibu-ibu idealis akan mengikuti aturan ini. Ibu-ibu
realis akan berusaha begitu tapi kalau terlanjur bilang enggak ya udah enggak
apa-apa. Saya sendiri enggak akan repot-repot menghindari kalimat negatif dan
mencari padanan artinya dalam bentuk positif. Saya jenis ibu yang gemar
mengatakan tidak.
Uprin tanya gambarnya bagus atau enggak, saya bilang
enggak karena begitulah faktanya. Uprin tanya apakah dia cantik setelah mandi,
saya bilang enggak karena enggak ada bedanya sebelum dan sesudah mandi. Uprin selesai
menghabiskan makan siang lalu memamerkan piringnya dan bilang dia pintar karena
makanannya enggak tersisa. Saya merespon dengan kata “enggak”, karena
menghabiskan makanan bukan salah satu indikator kepandaian seseorang.
Dan masih banyak lagi saat-saat di mana saya menjawab “enggak”.
Make Them Learn
What Disappointment Is
Memangnya Uprin enggak sedih atau kecewa dengan jawaban
saya? Oh, jelas. Dan itu poinnya.
Begini, saya kenal seseorang yang enggak bisa
mengelola rasa kecewa. Tiap kali kecewa, dilampiaskan dengan marah, membanting
benda-benda enggak penting, atau menyalahkan pihak lain. Berdasarkan pengamatan
saya terhadap bagaimana latar belakang keluarganya, sikap orang-orang di rumahnya,
pola relasi antar keluarga inti, saya menyimpulkan nihilnya kemampuan mengelola
rasa kecewa pada orang ini disebabkan karena yang bersangkutan hampir enggak
pernah dikecewakan semasa kecil.
Saya enggak mau Uprin tumbuh besar seperti itu. Dia harus
tahu bagaimana rasa kecewa itu dan bagaimana mengatasinya. Atau enggak perlu
diatasi. Dibiarkan saja karena kecewa itu hanya sementara. Terdistraksi oleh
hal lain saja bisa lupa.
Saya ingin Uprin mengerti bahwa kekecewaan itu salah satu perasaan yang
paling jamak di dunia ini. Kecewa saat film yang ditonton enggak sesuai
ekspektasi. Kecewa saat rencana terpaksa dibatalkan. Kecewa saat menerima
penolakan. Kecewa saat menelan kekalahan. Kecewa saat jalan macet. Kecewa saat
taksi yang ditumpangi bau asap rokok. Kecewa saat seorang teman mendapatkan
dengan mudah apa yang kita perjuangkan.
Terjadi setiap saat. Pada setiap orang.
(ADV)
Telling no is one way of show them the truth. Daripada mengiyakan tapi palsu. Apa itu sebabnya skrg jadi banyak manusia2 palsu. Lol jk
ReplyDeleteI love this post btw, real and honest.