“Girls compete each other, women empower one another”
image taken from here |
Saya
pertama kali melihat kutipan tersebut di instagram Dian Pelangi berbulan-bulan
yang lalu. Kalau tidak salah ingat, waktu itu mba Dian Pelangi memposting
fotonya bersama beberapa desainer hijab lainnya, ada Jenahara, Ria Miranda,
Zaskia Sungkar, dan lain-lain. Maksudnya, walaupun mereka satu profesi,
sama-sama desainer baju muslim dan memiliki label masing-masing namun mereka
tidak bersaing secara tidak sehat. Tidak ada iri dengki atau persaingan atau
semacamnya. Benar-benar menginspirasi, ya ?
Kembali
pada kutipan di atas tadi, kenapa saya begitu teringat pada kutipan itu ? Tentu
saja, karena saya merasa kutipan itu ‘saya
banget’.
Saya
merasakannya jadi ketika pertama kali membacanya langsung menempel di otak
saya. Saya pernah menjadi ‘that girl’,
yang ingin selalu menjadi yang terbaik, yang terkenal, terpintar, tertinggi
nilainya, pokoknya serba ‘ter’ segala macam. Iya, saya memang dangkal, tapi
saya realistis. Saya tidak melihat alasan kenapa saya tidak bisa menjadi yang
‘ter’ segala macam itu tadi. Cause I was.
Sejak SD saya selalu menjadi murid yang paling pandai, setiap halaman rapor
saya dihiasi oleh predikat peringkat pertama. Seluruh penjuru sekolah mengenal
saya. Lanjut ke SMP, saya agak kesal karena saya bukan lagi murid paling
populer. Ada seorang teman yang cantiknya masya Allah, saya masih yang paling
pintar, tapi tetap saja. Kata orang, perempuan pintar kalah oleh perempuan
cantik. Sejak itu sepertinya saya jadi agak sinis pada orang cantik. Saya
berpikir bahwa perempuan cantik itu sebenarnya tidak bisa apa-apa, otaknya
kosong, dan mereka mudah mendapatkan apapun hanya karena mereka beruntung
lantaran mereka terlahir cantik.
Kemudian
saya masuk SMA besar yang penuh murid-murid pintar, saya tahu akan sulit untuk
menjadi yang terbaik. Sialnya, seorang teman terdekat saya juga cantik. You khow that feel ‘kan, berjalan ke
sana kemari bersama teman yang jauh lebih cantik ? Rasanya seperti itik buruk
rupa yang berjalan di samping angsa. Sialnya lagi, saya harus puas dengan
predikat ‘murid pintar’ saja. Well, setidaknya saya pintar, karena bisa saja
saya menjadi murid ‘rata-rata’ yang tidak dikenal dan mudah dilupakan.
Lalu
ketika saya masuk kuliah, lagi-lagi seorang sahabat saya cantik jelita. Bukan
hanya cantik, dia juga baik hati, pandai, dan rajin. Awalnya saya iri setengah
mati, namun kemudian tidak mempermasalahkannya karena meskipun IPnya bagus kami
beda kelas. Selain dia, saya punya sahabat lain yang tidak cantik tapi pintar.
Meskipun kami bersahabat, we compete each
other. Kami berangkat kuliah bersama, pulang bersama, sholat bersama, makan
siang bersama, ke perpustakaan bersama, duduk selalu berjejeran, namun rasa
dengki itu masih ada. Saya sebal kalau nilainya lebih bagus dari saya dan saya
puas kalau nilai saya lebih tinggi. Saya ingat
setiap kali dia presentasi paper di depan kelas, saya selalu membaca
papernya huruf demi huruf untuk menemukan kesalahan atau cacat apapun dalam
papernya, kemudian saya memikirkan pertanyaan yang paling sulit dengan tujuan
sahabat saya itu tidak bisa menjawabnya. Tapi dia cerdas, setiap kali saya
berusaha menjatuhkannya, dia selalu bisa mengatasinya. Sahabat saya itu lulus
lebih dulu tapi IPK saya lebih tinggi. Tapi persaingan semacam ini benar-benar
tidak berguna. Dia menjadi ibu, saya juga. Dia sibuk mengurus anaknya, saya
juga.
Kalau
diingat-ingat lagi, saya menghabiskan masa muda dengan sia-sia. Bukannya
mengukir prestasi yang membanggakan, saya malah sibuk dengan kompetisi yang
saya buat sendiri, yang didasari oleh rasa dengki. Padahal rasa dengki itu
banyak sekali mudhorotnya serta dilarang dalam agama. Nabi Muhammad SAW pernah
bersabda, “Janganlah kamu saling
membenci, saling iri, dan saling berselisih. Jadilah kamu hamba-hamba Allah
yang bersaudara” (HR Bukhari). Memelihara
rasa dengki hanya akan menyusahkan diri sendiri.
Kalau
dipikir-pikir lagi, rasa dengki saya itu muncul karena saya tidak cantik. Coco
Chanel bilang, “there are no ugly woman,
only the lazy one”. Ungkapan itu benar sekali. Saya dulu tidak cantik
karena malas merawat wajah. Saya tidak peduli pentingnya skincare dan make-up. Saya
bahkan tidak memakai lipbalm meskipun bibir saya kering. Tidak heran penampilan
saya dulu kusut masai seperti itik buruk rupa. Hahaha... Sedangkan sahabat saya
waktu kuliah yang cantik jelita, baik hati, dan rajin itu memang sangat rajin.
Dia rajin memakai skincare, rajin
merawat wajahnya, rajin mensyukuri anugerah yang dimiliki berupa wajah cantik
dengan cara memakai make-up. Persepsi
saya tentang perempuan cantik tidak bisa melakukan apa-apa itu salah besar. Justru
perempuan yang cantik wajahnya adalah perempuan pintar. Cukup pintar untuk
menampilkan sisi terbaiknya, cukup pintar untuk mensyukuri anugerah Tuhan,
cukup pintar untuk tidak merasa iri saat melihat perempuan cantik lain.
ilustrasi muslimah, gambar diambil dari sini |
I am completely grown up now. Bukan lagi ‘that
girl’, I’m a woman. Wanita
muslimah yang saling menguatkan wanita lain, saling membantu, saling
memberdayakan dalam bidang apapun. Senang melihat wanita lain bahagia, dan
membantu sebisanya ketika mendengar wanita lain kesusahan. Seperti sabda nabi, “Mukmin yang satu dengan yang lain adalah
seperti sebuah bangunan yang bagian-bagiannya saling mengokohkan” (HR
Bukhari). Karena itulah makna cantik dari hati yang sesungguhnya.
Jadi,
kalau sekarang saya ditanya apakah masih iri pada perempuan cantik, saya akan
menjawab, “tidak, saya hanya iri pada Uprin yang kulitnya mulus halus tanpa
noda”. ^_^
Suka sama tulisan kak virly yang ini <3
ReplyDeleteAku pun pernah merasa begitu. Aku belum ibu ibu, masih kuliah hhaa tapi menyesal juga dulu pernah merasa seperti itu.
Bener juga.. dulu pas SMA temen temen selalu ngomongin anak cewek yang udah perawatan. Dibilangnya neko neko, tapi kalau di pikir pikir ya dia udah investasi ya. Ngerawat diri, gak harus pakai obat dokter. Cukup bawa pembersih muka kemana mana, misal lagi camping atau apa skin care dia paling lengkap.
orang lain bilang rempong, tapi... ya itu lah.. cara merawat diri. Cara mensyukuri diri sendiri. Yaa yaaaa aku suka banget tulisan kak virly yang ini :D