Gambar pinjam pixabay |
Intinya,
menilai perkembangan anak berdasarkan karakter dan kemampuan masing-masing itu bullshit.
Jadi,
hari ini jadwal menerima rapor. Uprin belum dapat sih, baru nanti tanggal 2 Januari dibagikan. Ya ampun, tahun depan!
Ngomong-ngomong
soal rapor, jaman sekarang tidak ada peringkat ya dalam rapot? Konon penilaian berdasarkan
perkembangan masing-masing anak. Kalau dianalogikan, seperti penelitian
kualitatif begitu ya? Berdasarkan prinsip bahwa setiap
anak itu unik. Tidak bisa menilai dengan cara pukul rata. Ada juga yang bilang peringkat
membuat anak bermental egois, mengutamakan diri sendiri karena setiap anak
menginginkan rangking 1. Selain itu anak yang mendapat rangking terakhir katanya dapat menjadi pribadi yang tidak
percaya diri, atau menjadi anak yang semakin malas lantaran merasa dirinya anak
bodoh.
Jadi,
dengan penilaian bermetode kualitatif itu, di rapor tidak dicantumkan nilai,
begitu? Lantas standarnya apa? Okelah kalau rapor anak TK bisa saja ditulis si
A sudah tidak mengompol lagi di kelas atau si B dapat mengikuti senam dari awal
sampai akhir. Nah kalau rapor SD, SMP, SMA bagaimana? Pakai huruf ABCDE seperti
anak kuliahan? Atau OEAPDT macam
Hogwarts? Eh, sebenarnya sama saja lho
pakai angka atau huruf. Dapat A berarti bagus, dapat C berarti mengulang. A =
10, C = 6. Pada akhirnya tidak kualitatif-kualitatif amat kan?
Lagipula
agak aneh juga rapor 100% kualitatif. Waktu saya SMA dulu, ada tiga macam
penilaian yang ditulis dalam rapor. Kognitif, psikomotor, dan afektif. Istilah
sederhananya, teori, praktik, dan sikap. Model ini juga ujung-ujungnya kuantitatif.
Semua murid diukur dengan standar yang sama. Lha wong saya yang mendribel
bola saja tidak bisa harus mengikuti ujian yang sama dengan murid yang jago taekwondo. Hasilnya kelihatan kan? Itupun nantinya
di penghujung tahun ajaran ditulis juga peringkatnya berdasarkan nilai kognitif
saja.
Saya
tidak tahu apa yang dirasakan anak sekolah jaman sekarang. Tapi bagi saya dulu,
peringkat adalah goal. Rangking 1 adalah
satu-satunya alasan kenapa saya mau repot-repot bangun tengah malam selama
musim ujian. Kalau rangking tidak ditulis di rapor kan frustrating sekali. Saya jadi bertanya-tanya siapa yang menempati
rangking 123. Penasaran ada di urutan berapa saya. SSepertiketika pembagian
hasil semester di kampus. Hanya IPK sendiri yang tercetak, tidak ada peringkat
apalagi jumlah absen. Sehingga saya selalu
menanyai setiap orang, "IPK kamu berapa?" lalu
membandingkan dengan milik saya. Kalau milik saya lebih tinggi,saya lega. Kalau IPK saya lebih rendah, saya kesal. Atau hanya saya yang merasa begitu?
Pepatah
mengatakan, jika kecerdasan seseorang diukur dari seberapa pandai ia terbang,
ikan akan selalu dikatakan bodoh. Setiap orang memiliki keunikan masing-masing,
punya bakat sendiri-sendiri. Kalau kata Park
Bok Nyeo di Mistery House Maid, tidak ada orang yang tidak bisa melakukan
apapun, karena tidak ada hal yang tidak bisa dipelajari di dunia ini.
Menyamaratakan semua murid berarti tidak bijak kan? Menilai semua murid dengan standar
yang sama berarti tidak adil kan? Sama seperti ikan tadi. Lah, kalau si ikan sekolah
di sekolah burung bagaimana? Tentu harus memakai standar burung kan?
Intinya,
menilai setiap anak berdasarkan karakter dan kemampuan masing-maisng itu bullshit. Pada akhirnya nanti pemberian
peringkat tetap terjadi. Angka tetap menjadi patokan. Blog berpageviews 40.000 tentu berbeda statusnya
dengan blog berpageviews 4 juta.
Sepakaaaaat bangeeet mbaaaaak 😁 Kalau menurut aku menghilangkan peringkat atau rangking justru jd banyak murid yg menyepelekan, tidak ada target gtu ceritanya. Menurut saya sih begitu, karena pengukuran kuantitatif lebih baik dalam menilai kemampuan seseorang. Terlepas setiap dr kita itu unik dan punya keahlian berbeda-beda.
ReplyDeletekalo kata dosen aku...setiap pengukuran bisa dikuantitatifkan, cuma mungkin belum menemukan ukuran yg tepat aja
ReplyDeleteOk saya sependapat.
ReplyDeleteBagi saya peringkat itu penting sebagai dasar penilaian sekaligus motivasi buat murid. waktu itu sayapun ikut berlomba-lomba demi mendapatkan peringkat kelas, walaupun pada akhirnya pencapaian saya hanya mampu sampai peringkat ke 5. setidaknya usaha saya sudah menorehkan hasil semaksimal dan semampu saya.
Memang di raport tdk tertulis peringkat. Tp kl di sekolah anak sy sih tetap ada ranking di tulis di kertas semacam selebaran gitu.
ReplyDeletedari dulu aku diajarkan untuk belajar krn belajar onting dan seumur hdpo kita akan belajar bukan hanay di sekolah tp di kehidupan . aku juag gak petnah menekankan ke anakkku haris rangki ng tp aku menyuruh mereka untuk belajar sampai bisa dan menekankan perjuangan agar bsia mencapai hasil maksimal. Bila kita selalu menekankan kerja keras dan semanagt berjuang anak tak perlu diimingi dg hadiah atau dapat peringkat. Anak keduaku waktu sma mau masuk ips krn dia gak bsia fisika, tp waktu kelas satu dia blj fisika walau agk bisa dia belajar dua kali lipat waktu belajar pelajaran yg lain walau hasilnya juga gak bgs2 amat. Semanagt panatng menyerah sdh aku ajarkan. jadi saat dia kuliah dia gak pernah ribut dg ipk, atpi akalu banyak kesulitan dia pantang menyerah. Menurutku kl kiat membiasakan anak berjuang dan kerja keras anak akan selalu berusaha sebaik mungkin dan aku juag menagjarkan anak gimana kalau gagal, hrs terus mencoba sambil berdoa
ReplyDeletesuka banget sama paragraf terakhir mak, pada akhirnya semua adalah masalah angka dan diangkain
ReplyDeleteJadi ingat dulu jaman sekolah dapat rangking 3 aja saya nangis karena terbiasa juara 1 *ups tidak bermaksud riya' hihi* padahal ortu tidak memaksakan yang penting belajar sesuai kemampuan. Tapi setelah besar saya menyesal asik belajar akademik dan mengabaikan hobi saya jadinya kerja nggak sesuai passion banyak ngeluhnya *lho jadi curcol*.
ReplyDeleteWaaaah aku kebayang akan bingung kalau nanti Raya udah sekolah.... dulu raport aku fluktuatif jadi ngga terlalu memikirkan dapet rangking apa ngga hihhi XD
ReplyDeleteWahhh....Sama Mak, kite jg ga suka sama penilaian rapot, dan Krn nilai rapot jg GW ga tw bakat yg sebenarnya. Untung kburu ngeh.
ReplyDeleteKalo menurutku konsepnya sudah benar metodenya aja mba yang belum pas, kalo mau bener-bener pure 100% kualitatif tidak bisa. Kalau kuantitatif jg khawatir menimbulkan pemikiran tsb kepada anak, termasuk aku dulu mba kalo rangkinknya ga masuk 3 besar langsung sedih, orang tua ku juga beranggapan bahwa peringkat adalah segala-galanya
ReplyDeleteSaya sebenarnya tidak setuju dengan adanya ranking. Sepertinya karena saya tidak merasa fair anak basket selalu dapat nilai olahraga bagus sedangkan saya yang lebih suka menulis dapat nilai jelek karena tidak bisa memasukkan bola ke dalam ring. What a wonderful world. Tapi memang benar, tanpa ranking jadi kurang termotivasi. Kalau ada sekolah dengan sistem pendidikan seperti Finlandia, saya pasti mengusahakan anak saya masuk sana haha.
ReplyDelete