“Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat” (Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945)
Akses Air Bersih di Indonesia
Jika
mengacu pada bunyi undang-undang di atas, tentu tidak ada rakyat yang tidak
makmur, ‘kan ? Tidak ada rakyat yang tidak memiliki akses pada air, kan ? Namun,
saya membaca di banyak sumber, masih banyak daerah di Indonesia yang miskin air
bersih.
Prihatin sekali mengetahui ada anak-anak yang terjangkit penyakit kulit
lantaran pakaian mereka dicuci dengan air sungai yang tercemar sementara kami
di sini mencuci baju dengan air bersih yang terus mengalir. Miris mengetahui
ibu-ibu harus mengais air bersih melampaui jarak puluhan kilometer sementara
kami tinggal memutar keran. Ironis sekali mengetahui para perempuan hanya bisa
mandi ala kadarnya sementara air bersih melimpah di bak mandi saya.
Dari
data LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), hanya 29% populasi di Indonesia
yang memiliki akses air bersih di kediaman masing-masing. Sementara itu, lebih
dari 50% masyarakat Indonesia hidup dengan kualitas air yang terkontaminasi. Sedangkan
sisanya belum memperoleh akses air bersih secara layak. (sumber femina.com)
Mobil Tangki Air Warga Sumba / Sumber Gambar : instagram @waterhouse_project |
Bagi
yang belum tahu, warga di Sumba Timur harus berjalan lebih dari 4 km dengan
medan yang berat untuk mendapatkan 1 liter air. Bahkan, tidak sedikit anak-anak
di sana putus sekolah karena mencari air. Di desa Wunga, Sumba Timur,
masyarakat harus membeli air bersih seharga Rp. 250.000,- per tangki. Sementara
penghasilan rata-rata mereka hanya Rp. 500.000,- per tahun. (sumber : instagram
@waterhouse_project)
Bukankah
hidup dengan kondisi seperti itu sangat menyedihkan ? Padahal wilayah Sumba
Timur diapit Selat Sumba, Laut Sabu, serta Samudera Hindia, namun masyarakatnya
keurangan air. Padahal terdapat 88 sungai dan mata air yang tidak pernah kering
di kabupaten Sumba Timur, mengapa banyak warganya tidak juga memiliki akses
langsung terhadap air bersih ? (sumber : laman wikipedia)
Topografi Sumba Timur / Sumber Gambar : instagram @laneigeid |
Bukan
hanya di Sumba Timur, akses terbatas pada air bersih pun dialami oleh sebagian
warga Semarang. Iya, ibukota provinsi Jawa Tengah yang kerap terendam banjir
rob bahkan di musim kemarau. Di kawasan dekat kampus saya dulu, air bersih
melimpah merupakan barang mewah. Memang tidak langka, namun akses terhadap air
bersih sangat terbatas hingga nyaris tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
harian. Setiap rumah berlangganan air bersih pada perusahaan pemasok air. Air
bersih pun dialirkan ke tangki-tangki penyimpanan di rumah-rumah melalui pipa pada
jam-jam tertentu, sekali setiap hari. Ada juga rumah yang mendapat pasokan air
bersih dua kali sehari, karena berlangganan di dua perusahaan pemasok air yang
berbeda. Namun, kadang aliran air akan macet ketika listrik mati dan pernah
juga macet ketika libur hari besar.
Akses
air bersih yang terbatas juga dirasakan oleh sebagian penduduk di suatu wilayah
di Sumatera Utara. Mereka menggunakan sumur tadah hujan di masing-masing rumah.
Kedalaman sumur hanya sekitar 2 meter dari permukaan tanah, tentu tidak
mencapai air tanah. Karena sifatnya sumur tadah hujan, maka ketika musim kemarau
akan kekeringan. Bukannya perusahaan pemasok air belum sampai ke sana, namun
sebagian besar warga hidup hanya mengandalkan hasil penjualan kelapa sawit dan
buah pinang yang tidak seberapa. Oleh karena itu jarang ada warga yang mau
berlangganan air pada perusahaan pemasok air. Mereka memilih mengambil air di
sungai secara manual menggunaka ember-ember. Untuk mengurangi beban mengangkat
air, seringkali warga mencuci baju serta mandi di sungai.
Memang
tidak semenyedihkan kondisi di Sumba Timur. Tapi tetap saja, akses air bersih
yang serba dibatasi bukanlah pilihan pertama kebanyakan orang.
Akses Air Bersih di Daerah Kami
Desa
tempat tinggal kami, saya dan tetangga, thank’s
God, adalah lokasi tempat tinggal
yang ideal (saya mengesampingkan minus jauh dari toko buku, mall dan bioskop).
Seumur-umur saya hidup di sini (when is, sejak lahir) tidak pernah sekalipun
saya punya ingatan tentang bencana alam (semoga tidak akan pernah, amin). Baik
itu banjir, longsor, gempa bumi, kekeringan, atau paceklik. Meskipun hujan
lebat berhari-hari tanpa henti, desa saya tidak terisolasi. Meskipun kemarau
berkepanjangan, sumur-sumur tidak ikut kemarau.
Kami,
saya dan tetangga, memiliki akses penuh terhadap sumber air di rumah
masing-masing. Air bersih adalah barang gratis di sini (well, kecuali listrik untuk menyalakan mesin pompa air), dan kami
sangat bersyukur untuk itu.
Kami,
saya dan tetangga, sangat bersyukur tidak perlu berlangganan air bersih dari
perusahaan pemasok air. Pun tidak perlu membeli air bersih pada pedagang air
keliling. Tidak perlu juga menunggu uluran tangan dari pihak lain untuk sekedar
mencuci tangan.
Kebutuhan Air
Desa
kami relatif kecil bila dibandingkan desa-desa sekitar. Hanya 226.485 m2 luasnya,
itupun lebih dari setengahnya merupakan area persawahan serta tambak ikan
hingga ke pinggir laut Jawa. Ada sungai kering berkelok di antara pemukiman,
namun tetap berfungsi menampung air yang berlebih saat musim hujan. Ada dua
sumber mata air di desa kami, mata air yang airnya terus memancar dari dalam
bumi. Ada sungai dengan air yang terus mengalir di area persawahan, namun
sejumlah sawah memiliki sumber air di petaknya sendiri.
Dengan
topografi demikian, konsumsi air bersih di desa kami sangat besar. Setiap hari,
rumah-rumah membutuhkan air untuk kebutuhan domestik ; minum, memasak, mandi,
mencuci, dan sebagainya. Makin banyak anggota keluarga, makin tinggi konsumsi
air bersihnya. Setiap musim tanam padi, sawah-sawah memerlukan air dalam jumlah
besar. Makin luas petak sawahnya, makin banyak air yang dibutuhkan. Area tambak
ikan juga membutuhkan air bersih. Ikan-ikan akan mati jika air di tambak
terlalu asin.
Pernah Kekeringan
Saya
sudah bilang ‘kan kalau supply air di
desa kami selama ini berasal dari sumur warga, mata air bersama, serta sungai
di persawahan ? Selama ini, itu semua lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan
air seisi desa.
Orang
bijak mengatakan : kemakmuran yang tidak dijaga akan habis pada tenggat
waktunya. Begitu juga desa kami. Air bersih yang melimpah ruah akan habis jika
tidak dijaga dengan baik. Kami, saya dan tetangga terbiasa menggunakan air
sesuka kami. Tanpa berpikir, kami menyiram tanaman di halaman rumah
masing-masing secara berlebihan. Tidak jarang juga kami menyiram jalan beraspal
di depan rumah kami. Sudah kebiasaan, supaya tidak berdebu, alasan kami. Bukan
hanya sekali dua kali kami menghidupkan mesin pompa air lama-lama hingga tangki
penampung air di rumah kami penuh, namun kami lupa mematikan mesinnya. Air pun
berhamburan kemana-mana seperti hujan. Kami tidak menghitung entah berapa ribu
kubik air bersih yang kami buang percuma. Hanya karena kami berpikir, air
bersih itu gratis. Hingga akhirnya pada musim kemarau tahun lalu, sempat
terjadi kekeringan di desa kami. Seumur-umur, baru sekali itu terjadi.
Sumur-sumur
warga kehabisan air, bukan hanya satu dua, namun sebagian besar. Bahkan ada
sumur seorang tetangga yang kering sama sekali hingga tidak dapat dipompa. Padahal
tetangga itu adalah nenek-nenek yang sudah sepuh. Untuk keperluan memasak,
nenek itu harus meminta air bersih dari sumur tetangga yang sama-sama mulai
kering. Untuk membersihkan badan, nenek itu harus menumpang di kamar mandi
tetangga. Sedangkan untuk minum, nenek itu memilih membeli air mineral saja. Di
rumah tetangga yang lain, mesin pompa air hanya bisa memompa air pada tengah
malam. Praktis, kehidupan tetangga itu sebagai ibu sekaligus tulang punggung
keluarga semakin berat dengan terbatasnya akses terhadap air bersih. Ibu yang
merangkap tulang punggung keluarga itu harus bangun pada pukul dua dini hari
untuk menyalakan mesin pompa air, mengisi bak-bak mandi, mengisi penuh semua
ember yang bisa ditemukan di rumahnya, mencuci baju seluruh anggota keluarga,
mencuci piring, sekaligus memasak, merebus air minum, dan mandi.
Di
rumah saya juga sama, salah satu sumur bor tidak mengeluarkan air sama sekali.
Untungnya masih ada sumur bor cadangan sehingga saya tidak harus mengalami “ngangsu ning omahe tonggo” (mengambil
air di rumah tetangga-Jawa). Selain itu, banyak sekali warga yang mengeluh
mesin pompa air mereka rusak akibat bekerja terlalu keras tanpa mengeluarkan
air setetes pun. Itu terjadi juga pada satu-satunya Sekolah Dasar di desa kami.
Volume
air di sumber mata air bersama di desa kami pun surut, banyak sekali selisihnya
dibanding pada kemarau tahun sebelumnya. Sudah surut, ada pula warga yang
curang meletakkan mesin pompa air di sumber mata air bersama untuk dialirkan ke
rumahnya. Tentu saja tindakan tersebut mendapat pertentangan dari warga yang
lain. Agak terlalu memprihatinkan, bukan ? Demi air bersih ada yang rela
berselisih dengan tetangga.
Sementara
di area persawahan, sungai-sungai yang tidak pernah kering itu mulai kering
juga. Para petani bersamaan memompa air dari sungai untuk mengairi sawah
masing-masing. Tidak cukup hanya sungai, banyak petani yang akhirnya membuat
sumur bor dadakan demi tersedianya air. Setiap hari menggunakan mesin pompa air
berbahan bakar solar. Dari data yang saya dapat, setidaknya setiap petani harus
mengeluarkan Rp. 70.000,- untuk 10 liter solar per hari selama satu bulan penuh,
atau lebih. Itu yang punya mesin pompa air sendiri, ada juga yang masih
menyewa. Padahal hasil yang diterima petani tersebut saat panen hanya berkisar
antara Rp. 7.000.000,-. Itu jika sawah milik sendiri, jika menggarap lahan
orang, buruh tani hanya menerima setengahnya. Berat memang, namun pilihannya
hanya itu atau gagal panen karena kekeringan.
Menghitung Kebutuhan Air Bersih
Kelak,
daerah lain pun akan mengalami hal serupa. Semakin hari jumlah penduduk semakin
bertambah, demikian pula dengan kebutuhan air bersih. Standar kelayakan minimal
air bersih yang dibutuhkan setiap orang menurut UNESCO adalah 49,5 liter per
hari. Jadi idealnya volume air bersih meningkat berbanding lurus dengan
pertambahan jumlah penduduk.
Mari
kita hitung kebutuhan air bersih bagi bayi.
Kebutuhan
|
Frekuensi
|
Volume
Air
|
Jumlah
|
Mandi
|
2 x
|
8 liter
|
16 liter
|
Cebok setelah pipis
|
8 – 10 x
|
0,5 liter
|
4 liter
|
Cebok setelah pup
|
3 - 5 x
|
1 liter
|
3 liter
|
Mencuci perlengkapan
|
1 x
|
25 liter
|
25 liter
|
Total
|
48 liter
|
Lalu,
mari kita hitung kebutuhan air bersih bagi dewasa.
Kebutuhan
|
Frekuensi
|
Volume
Air
|
Jumlah
|
Mandi
|
2 x
|
15 liter
|
30 liter
|
Cebok setelah pipis
|
3-5 x
|
2 liter
|
6 liter
|
Cebok setelah pup
|
1-2 x
|
8 liter
|
8 liter
|
Mencuci pakaian
|
1 x
|
25 liter
|
25 liter
|
Mencuci piring
|
1 x
|
10 liter
|
10 liter
|
Mencuci aplikator make up
|
1 x
|
3,5 liter
|
3,5 liter
|
Minum
|
8-10 x
|
0,2 liter
|
1,6 liter
|
Memasak
|
1-3 x
|
2 liter
|
2 liter
|
Total
|
86,1 liter
|
Lihat
‘kan, kebutuhan air bersih orang dewasa per hari lebih dari standar kelayakan
minimal yang ditetapkan UNESCO. Padahal penghitungan yang saya lakukan di atas
adalah penghitungan kebutuhan minimal. Lalu, mari kita simulasikan dalam satu
rumah terdapat 4 anggota keluarga yang terdiri dari tiga orang dewasa dan satu
bayi. Maka 86,1 liter kali tiga tambah 48 liter, hasilnya 306,3. Setidaknya
306,3 liter air bersih dibutuhkan setiap harinya untuk sebuah rumah tangga beranggota
empat orang. Jika anggota keluarga bertambah menjadi lima, enam, lalu berapa
yang dibutuhkan untuk satu desa ? Satu kecamatan ? Satu kabupaten ? Satu
provinsi ? Satu negeri ? Silakan hitung sendiri.
Kemudian
pertanyaannya adalah, dari mana suplai airnya ? Jika air tanah, akan bertahan
sampai kapan ? Air memang sumber daya yang dapat diperbarui. Namun jika tidak
dijaga, lambat laun akan habis juga karena demand
yang terus meningkat.
Menjaga Sumber Daya Air
Jadi,
sebelum generasi berikutnya mengalami kekurangan air akibat kelalaian kita,
alangkah lebih baik jika kita melakukan tindakan pencegahan. Menjaga
ketersediaan air dapat dilakukan oleh siapa saja. Satu tindakan sederhana dari
kita dapat membuat hari esok lebih baik.
Berikut
hal-hal kecil yang dapat kita lakukan untuk turut serta menjaga sumber daya
air. Yang benar-benar kecil dan sederhana saja. Jika mau menanam mangrove atau
menjadi polisi lingkungan hidup lebih bagus lagi. Namun bila belum sanggup,
setidaknya lakukan saja yang bisa dilakukan sekarang.
·
Mematikan keran
begitu keluar dari kamar mandi. Entah itu kamar mandi umum di pom bensin, di
masjid, atau di rumah sendiri. Sering ‘kan, kita menemukan kamar mandi umum
yang kerannya dibiarkan terus menyala sepanjang hari ? Bayangkan berapa liter
air yang terbuang percuma.
·
Mandi menggunakan
shower. Dibandingkan menggunakan bak mandi konvensional atau bath up, penggunaan
shower jauh lebih efisien. Namun tentu saja, jangan membiarkan shower tetap
menyala selama mandi. Nyalakan shower secukupnya ketika waktunya membilas.
·
Menggunakan selang
berpenutup untuk menyiram tanaman. Dengan kepala selang yang bisa dibuka-tutup,
akan meminimalisir air tercecer. Lebih baik lagi jika menyiram tanaman
menggunakan air bekas cucian sayur/buah.
·
Hindari menyiram jalan
beraspal. Selain membuang-buang air dan merusak aspal, hal itu sungguh tidak
perlu. Ketika baru disiram memang tidak berdebu, namun sesaat kemudian air
siraman akan menguap dan debu akan datang lagi.
·
Menggunakan mesin
pompa air otomatis. Manusia memang tempatnya lupa, namun jika keseringan lupa
mematikan mesin pompa air sehingga air meluap-luap dari tempat penampungan, itu
namanya boros. Mencegah pemborosan yang berlebih, gunakan saja mesin yang
otomatis mati ketika tempat penampungan air sudah penuh.
·
Membawa air minum
sendiri dalam wadah yang dapat digunakan berulang. Atau botol yang bagus.
Hindari minum dari air mineral dalam kemasan gelas. Karena saya yakin sekali,
tidak semua orang berusaha menghabiskan air mineral dalam cup, terutama ketika
bertamu atau pada suatu acara. Sebagian besar orang akan meminum sedikit lalu
meninggalkan sisanya di tempat. Itu juga pemborosan namanya. Hindari membuang-buang
air seperti ini dengan membawa air minum sendiri dalam botol cantik yang sayang
jika tertinggal.
·
Kumpulkan air
mineral sisa orang, lalu gunakan untuk menyiram tanaman. Menurut pengalaman
saya selama lebaran dari tahun ke tahun, orang-orang yang bertamu hanya meminum
air mineral yang disajikan dalam jumlah sedikit. Mereka seringkali meminum hanya
untuk formalitas, untuk sekedar menghargai pemilik rumah. Kemudian mereka
meninggalkan sisa minum mereka begitu saja. Mereka mungkin belum tahu itu
namanya pemborosan. Mungkin juga mereka belum memiliki kepedulian terhadap pasokan
air yang kian menipis. Jadi, sebagai pemilik rumah, saya berinisiatif
mengumpulkan bekas minum para tamu lalu saya pakai untuk menyiram tanaman.
Lagipula, itu air mineral beli, loh !
Sedih ya, ternyata masih banyak daerah di Indonesia yg penduduknya belum bisa menikmati air bersih seperti yg kita nikmati di perkotaan...
ReplyDelete