![]() |
gambar pinjam pixabay |
“Bruumm
bruumm ciiitttt...” Begitu bunyi ban yang dipaksa berhenti ketika sedang melaju
dalam kecepatan tinggi. Biasanya diikuti suara benda besar dibanting di atas
aspal “brakkk!” dan kerumunan terbentuk sejurus kemudian. Terdengar satu dua
orang dalam kerumunan itu melafalkan istighfar. Terdengar juga satu dua orang
menyebut nama binatang dengan tidak sopan. Beberapa decakan bernada kesal pun
terdengar di sela-sela berisik yang terlalu nyaring jika disebut bisik.
Sesaat
kemudian, kerumunan bubar perlahan. Tiga bocah awal belasan tahun terduduk
beralas aspal di tengah sisa kerumunan. Sebuah sepeda motor matic tergeletak begitu saja di antara
mereka. Seorang bocah meringis memegangi lututnya yang berdarah mengintip di
balik celana biru yang kini sobek. Seorang lainnya mengeluhkan pergelangan
kakinya yang keseleo. Seorang lagi menatap nanar pada beberapa bagian sepeda
motor yang penyok.
Penggalan
adegan yang terdengar familiar, ya? Bukan, itu bukan pengalaman pribadi saya.
Bukan juga bagian dari naskah fiksi yang kerap saya imajinasikan. Kecelakaan
yang terjadi pada anak sekolah berboncengan tiga memang sudah menjadi peristiwa
yang jamak. Terjadi di mana-mana. Terjadi setiap saat. Umumnya kecelakaan model
begini tidak menghasilkan simpati atau rasa kasihan, melainkan umpatan dari
pengguna jalan lain atau derai air mata sesal dari keluarga si bocah.
Orang
lain (termasuk kita, mungkin) yang melihat kecelakaan seperti ini akan
seenaknya menyeletuk, “orangtuanya kemana kok masih bocah dikasih motor?” atau
“emang enak kecelakaan, makanya masih kecil naik angkot aja!” atau “jadi anak
bandel sih, sukurin lah jatuh, biar tau rasa!” atau macam-macam ungkapan
jengkel lainnya. Tapi, pernahkah kita membayangkan penggalan adegan yang
sebelumnya dialami si bocah?
Bisa
jadi begini :
Teman
si bocah : “Heh, pokoknya lo besok harus bawa motor! Kalo nggak berarti lo
banci. Masak cowok naek angkot!”
Si
bocah : “Tapi gue nggak punya motor.”
Teman
si bocah : “ya minta emak lo lah!”
Atau
begini :
Si
bocah : “Bapak, raporku A semua, mana hadiahnya?”
Bapak
si bocah : “Ini hadiah buat kamu (sambil memberikan sebilah kunci).”
Ibu
si bocah : “Kok bapak kasih sepeda motor? Adek kan masih SMP”.
Bapak
si bocah : “Nggak pa-pa, adek kan laki-laki, pinter lagi. Lagian kalo adek bawa
motor sendiri kan bapak nggak usah capek-capek antar jemput”.
Atau
begini :
Teman
si bocah : (via telepon) “Tolongin gue dong, gue dibuntutin orang di gang
kecil, buruan!”
Si
bocah : “Oke, gue pinjem motor emak dulu (lalu si bocah langsung meluncur
menyelamatkan temannya)”
Atau
begini begini yang lain.
Membicarakan
kemungkinan tidak akan ada habisnya, saya tahu. Bocah usia awal belasan tahun
tidak seharusnya mengendarai sepeda motor (atau mobil) sendiri, saya juga tahu.
Orang tua tidak seharusnya memberikan kendaraan bermotor sebagai hadiah pada
anak yang belum dewasa, saya juga tahu. Anak di bawah umur yang mengendarai
sepeda motor sendiri dapat membahayakan diri sendiri sekaligus pengguna jalan
yang lain, saya juga
tahu.
Dilihat
dari kacamata manapun, anak-anak tidak sebaiknya mengendarai kendaraan bermotor
sendiri. Namun sebelum menyalahkan si anak atau mencela orang tuanya, bukankah
lebih baik untuk mencari tahu alasan di baliknya? Apakah di anak naik motor
sendiri karena gaya-gayaan? Atau si anak perlu ke mana-mana seorang diri? Atau
si anak memang terpaksa naik motor sendiri? Jika orang tuanya tidak peduli
keselamatan anak, berikan pengertian. Jika si anak yang bandel, berikan arahan.
Jika terpaksa karena keadaan, luruskan.
Itu
jika kita peduli. Jika tidak peduli lantas hanya memaki, apa gunanya? Bukankah
lebih baik mendoakan saja?
Saya
ingat sebuah hadits yang artinya kurang lebih begini :
“barangsiapa melihat kemungkaran, maka cegah dengan tangan. Jika tidak mampu, cegah dengan lisan. Jika tidak mampu, cegah dengan hati (maksudnya doa)”.
Well,
saya tidak mau berdalil panjang lebar di sini. Intinya begitu lah. Jika tidak
bisa mengubah, jangan menghakimi.
Lagipula,
anak belia usia awal belasan tahun tidak hanya dibentuk oleh orang tuanya. Ada yang
namanya peer group, rasa ingin diterima, kebutuhan ingin diakui, dan jiwa yang
masih labil. Bocah-bocah itu masih rapuh. Kita orang dewasa yang harus
memahami.
PS : Tulisan ini merupakan bagian dari #CollaborativeBlogging. Baca punya mbak Diah : Anak Di Bawah Umur Mengendarai Motor Sendiri dan Penyuluhan Berkala
Selalu ada alasan di balik kejadian ya mbak. barangkali ada baiknya kita menahan diri untuk ga melancarkan tuduhan dulu sebelum tahu alasannya. tapi ya memang yang kita lihatlah yang bisa kita ketahui, soal hati, nah baru itu wilayah yang ga boleh kita nilai. iya...menilainya pakai apa coba hehe...
ReplyDeletebtw, bannernya baru ya. lebih fresh!
Betul, dalamnya hati siapa tahu ya mbak?
DeleteMakasih 😊
Inget dulu waktu SMA temen2 heboh pada bawa mobil & pake motor, aku mah boro2 karena ngga boleh belajar nyetir sama nyokap. Diajarin nyetir setelah lulus kuliah & baru nyetir setelah kerja... Tapi aku belajar dari situ, bahwa nyokap emang pengen aku bertanggung jawab nyetir dengan umur yang sesuai. Jadi bisa mengajarkan hal tersebut sama anak aku sekarang
ReplyDeleteSaya malah belom bisa nyetir udah segede gini 😄😄😄
DeleteSetuju sama paragra terakhir, keinginan untuk diakui itu bisa jadi motivasi anak nekat bawa motor meski belum waktunya (salah satunya). Antara amaze bercampur ngeri kalau lihat anak smp mengemudi motor. Udah gitu pake cabe-cabean lagi alias boncengan bertiga. -_-
ReplyDeleteIya mbak, kadang naik motor serampangan lagi!
DeleteUntung nggak pake tomat2an sama terasi2an yaa,, ntar dibikin sambel 😆😆😆
Aku pernah lihat di tv mbak, berita anak sd yang naik motor trus jatuh ke paret..duuuh ngerinya...Kata orang tua mereka, mereka terpaksa memfasilitasi motor buat anak2 karena tidak ada angkot..Seram saya melihatnya mbak-
ReplyDeleteBtw..salam kenal ya
Waaaaa ada mbak dewi greenland 😃😃😃
DeleteKadang itu juga mbak, transportasi umum belum memadai jadinya motor alternatif utama.
Menurutku orangtua yang harus punya andil besar untuk melarang anak menggunakan motor saat belum cukup umur mba
ReplyDeleteKalau bukan orang tua, siapa lagi ya mbak?
DeleteSaya termasuk orang yg tidak setuju anak kecil naik motor sendirian. Yah mau apapun alasannya nanti juga bakal fatal akibatnya. Sedih aja lihat banyak korban yg notabene masih anak2
ReplyDeleteSedih emang, lihat anak2 yang jadi korban. Ya campur kesel juga sih kadang
Delete