LIFE AS DIVORCEE #12: SITUATIONSHIP

No comments

 

Belakangan saya sering sekali dengar/baca kosa kata situationship entah di Twitter maupun Instagram. Istilah situationship merujuk pada hubungan romantis non official yang sebetulnya nggak jauh beda dengan relationship tradisional. Kita saling suka, saling memberi kenyamanan, saling tanya kabar, kadang-kadang video call, cuddling, berciuman, kirim video kucing, berbagi foto NSFW, tukeran akun aplikasi streaming film, staycation bareng, dan mungkin yang lainnya juga. Kamu melakukan hampir semua yang dilakukan pasangan official, kecuali memanggil mereka dengan sebutan pacar. Dan memajang foto mereka di media sosial.

Oh! Dan membawa mereka ke acara-acara resmi. Dan dikenalkan pada keseharian mereka. Dan menjadi seseorang yang mereka banggakan di depan umum. Dan membicarakan masa depan.

Singkatnya, situationship itu pacaran nggak resmi.

Apa bedanya dengan friends with benefit? FWB kesepakatannya jelas, kalian berteman tapi sesekali having sex, biasanya tanpa menginap. Nggak ada perasaan terlibat, ada batasan jelas misalnya nggak boleh saling cemburu. Sedangkan pada situationship, perasaan terlibat, batasan mengabur, having sex terasa seperti making love, perhatian yang diberikan masing-masing terasa tulus.

Kalau kamu ngikutin series Life as Divorcee dari episode sebelum-sebelumnya, situationship agak mirip seperti punya partner date tanpa komitmen. Saya menganalogikannya seperti ngekos, alih-alih mencari rumah permanen. Situationship ya begitu. Mencari kenyamanan, namun tanpa komitmen. Hassle-free.

Baca: Life as Divorcee #6; Dating

Saya bisa mengerti kenapa situationship jadi populer belakangan ini. Hidup kita, anak-anak muda sekarang sudah sarat tekanan; kerjaan yang bikin burnout tapi underpaid, keriuhan financial planning yang bikin cemas karena entah gimana caranya ngumpulin 30 tahun dana pensiun hanya dalam 30 tahun waktu produktif, feed media sosial rekan seangkatan yang bikin insecure karena kok mereka kaya-kaya dan cantik-cantik dan pintar-pintar dan asertif, belum termasuk keharusan memenuhi ekspektasi keluarga dan keluarga besar, serta inner child yang belum benar-benar sembuh.

Dengan beban sebegitu berat di pundak, hubungan romantis dengan komitmen hanya akan terasa seperti beban tambahan. Sementara kita butuh dukungan emosional, afeksi, perhatian-perhatian kecil, bahu untuk sesekali bersandar, tangan untuk sesekali digenggam, juga telinga untuk mendengarkan bercerita. And the butterflies in our stomach feels exciting, doesn’t it?

What’s So Bad about Situationship, Anyway?

Situationship mendapat kesan buruk karena kita belum terbiasa melihat hubungan tanpa komitmen. Para pelaku situationship seringkali dianggap brengsek karena nggak mau terikat atau meresmikan hubungan. Padahal kan kalau salah satu pihak ingin hubungan resmi tinggal bilang. Jika pihak lain nggak ingin ya tinggalkan. Semudah itu kok, teorinya (PS: saya sadar betul praktiknya nggak semudah itu. Urusan perasaan manusia sering rumit).

Terjebak dalam situationship seringkali membuat kita merasa nggak berdaya karena rasanya kita nggak punya kendali dalam hubungan tersebut. Kita nggak yakin apakah kita boleh merasa cemburu, atau kangen, atau mengatakan “kabari nyampe rumah ya” sepulang kencan. Kita ragu menanyakan “kita ini apa” karena nggak siap mendengar jawabannya.

Jika kita menyukai ikatan seperti layaknya traditional dating (PDKT kemudian berpacaran untuk menikah), situationship jelas bukan ide bagus. Alih-alih, kita justru akan merasa direndahkan karena seperti ‘digantung’.

Situationship umumnya melibatkan berbagai skinship. Hal ini tentu bukan untuk semua orang. Salah-salah kita bisa menilai rendah harga diri saat ‘disentuh’ tanpa komitmen jelas. Nantiya akan berpengaruh pada self esteem juga.

Kemudian jika dia akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan sepihak, kita akan merasa bingung saat sedih karena kehilangan seseorang yang bahkan bukan milik kita.

Signs You’re in Situationship

Sebetulnya mudah sekali menebak apakah kamu sedang berada dalam situationship atau nggak. Kalau kamu selalu bertanya-tanya “kita ini apa” selama bersama dia, kemungkinan besar you’re in situationship. Boleh juga cari beberapa tanda berikut:

1.             Dia selalu menghindar ketika kamu mulai membicarakan perasaan atau status hubungan kalian.

2.             Dia selalu punya alasan menolak ketika kamu mengajaknya nge-date beneran.

3.             Dan dia nggak berusaha reschedule ajakanmu di hari lain.

4.             Dia nggak mau pergi ke keramaian karena takut ada yang mengenalinya sedang berdua denganmu yang bukan partner official-nya.

5.             Kalian nggak pernah membicarakan masa depan. Kalian tahu pasti jika hubungan kalian hanya sementara.

6.             Dia bilang dia suka badanmu, dia suka aroma tubuhmu, dia suka sikapmu, tapi nggak pernah bilang dia suka kamu.

7.             Kamu tahu dia belum selesai dengan partner official-nya.

8.             Dia butuh satu minggu untuk menjawab pesanmu (nggak seminggu utuh juga sih, pokoknya lama sekali lebih dari sehari).

9.             Kamu nggak pernah diperkenalkan dengan teman-teman dan keluarganya (dan kemungkinan nggak akan pernah).

10.         Dia nggak berbagi rahasia kepadamu.

11.         Kamu nggak yakin pada sikapnya, tapi kamu selalu feel loved saat kalian berdua.

12.         Percakapan kalian seringnya berbau ‘dirty’.

Situationship Could Be Beautiful Too

Saat ini, saya sungguh menyukai relasi tanpa definisi seperti ini. Lagipula kita manusia dengan perasaan yang masing-masing unik. Cara kita memproses apa yang diinginkan hati masing-masing juga belum tentu sama. Kenapa hubungan harus dimasukkan ke dalam kategori-kategori?

Kita saling suka dan menikmati apapun yang sedang kita lakukan. Orang lain nggak perlu mengerti alasannya. Kita pun nggak berutang penjelasan pada mereka.

Sebagaimana bentuk hubungan lain, kita perlu set boundaries saat kita menjalani relasi tak terdefinisi ini. Misalnya, sepakat untuk nggak saling menghubungi pada Sabtu malam, atau sepakat untuk nggak membicarakan perasaan.

Lantas, bagaimana caranya meminimalkan hal-hal yang membingungkan? Saran saya sih tanya langsung aja. Misalnya, apakah boleh merasa cemburu, apakah boleh bilang kalau merasa cemburu, apakah boleh memanggil dengan panggilan sayang, apakah boleh berkeluh-kesah mengenai hal personal, dsb. Intinya dikomunikasikan.

No comments

Halo, terimakasih sudah mampir di JurnalSaya. Satu komentar Anda sangat berarti bagi saya.
Semua komentar dimoderasi ya. Komentar yang berisi pesan pribadi akan saya anggap spam.
Oiya, tolong jangan tinggalkan link hidup di badan komentar. Kisskiss