RELATIONSHIT #1: BEING THE OTHER WOMAN

No comments


Ini cerita tentang Augustine. Tentang Yuli. Tentang Lydia. Tentang Yeo Da-kyung.

It was supposed to be a summer fling. Awalnya cuma flirting-flirting lucu karena hidup sungguh membosankan sedangkan dia menawarkan senyum seindah itu. Bukan cuma senyum, bukan. Melainkan perhatian, sikap, serta hal-hal random di dirinya yang bagimu asing namun menyenangkan.

Kamu mulai menyadari bahwa suara tawanya sungguh candu. Bahwa cara dia makan dengan ekspresi se-passionate itu membuatmu ingin makan bersamanya tiga kali sehari setiap hari. Bahwa dia mengganti galon air pun terlihat seksi. Bahwa dia yang sedang berhemat setengah mati pun tampak sangat manusiawi.

Didukung oleh intensitas pertemuan dan peristiwa yang dilalui bersama; gerimis, badai, kemarau, senang, sedih, marah. Kamu senang, kalian tertawa. Kamu marah, dia marah. Kamu menangis, dia maklum. Kamu letih, dia ada. Kamu burnout, dia juga. Kamu lupa dia ada yang punya. Dia pun enggan menjelaskan apa-apa.

“Cuma having fun kok, paling sebulan-dua bulan udah bosen,” dalihmu waktu itu, saat teman baikmu mengingatkan apa yang sudah kamu mulai bisa berubah menjadi tragedi kapan saja.

Apa yang sudah kamu mulai, memangnya?

Yang sudah kalian mulai, lebih tepatnya.

"I think I like you".

Hari itu kalian berjalan beriringan di bawah terik matahari yang biasanya. Tak ada hujan sebagai latar belakang atau lagu romantis sebagai soundtrack. Kamu diam sepanjang jalan. Dia juga. Seperti biasa.

Seharusnya hari itu menjadi halaman terakhir namanya tertulis di bagian ceritamu. Kamu berniat begitu. Saat mengatakannya, kamu sudah siap mendengar kata maaf atau terima kasih. Alih-alih, kamu mendengar tawa kikuknya sebagai respon.

Halaman baru terbentang beberapa hari kemudian. Pesan-pesannya mulai bermunculan.

"Kamu denger kan kemaren sore aku bilang apa? Set your own boundaries ya," kamu mengkonfirmasi sekaligus mengingatkan.

"Denger kok, aku speechless makanya nggak jawab apa-apa," terangnya.

Tanpa rencana, namanya menjadi notifikasi paling sering muncul di ponselmu. Instastory-nya selalu paling kiri. Kontak WhatsApp-nya ada di daftar teratas paling sering kamu hubungi.

Flirting-flirting yang semula lucu berubah menyakitkan ketika kamu menemukan dia sedang bersama orang lain. Seseorang yang dipunyanya. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Kamu kira semakin sering melihatnya, sakitmu akan perlahan sirna. Mudah sekali jika begitu. Nyatanya justru sebaliknya. Semakin sering melihat mereka bersama, semakin sakit rasanya.

Tapi tahu apa yang lebih menyakitkan? Kepercayaan dirimu mulai terkikis. Kamu meragukan semua. Kamu merasa tidak cukup. Kamu merasa tidak layak.

Kamu mulai menganalisis bahasa tubuhnya. Bagaimana posturnya saat kalian bersama. Ke mana arah ujung kakinya. Kapan ponselnya berbunyi. Seberapa sering muncul notifikasi yang berbeda. Bagaimana caranya menyembunyikan ponsel supaya terhindar dari jangkauan pandanganmu. Bagaimana tubuhnya secara otomatis menciptakan jarak denganmu di publik.

Kamu mulai membandingkan perlakuannya padamu dengan perlakuannya pada seseorang yang lain itu. Berdasarkan sedikit fakta yang terpampang di permukaan, kamu berasumsi dan menarik kesimpulan sendiri. Sikapnya begitu manis dan protektif saat mereka bersama, sedangkan dia tak segan tampil apa adanya bersamamu. Bagaimana dia sukarela memunculkan wajah ke publik bersama seseorang yang lain itu, sementara dia setengah mati menyembunyikan diri agar tak ada jejak kalian pernah bersama.

Kamu ingat bagaimana dia selalu memilih jalan yang cenderung sepi untuk menghindari berpapasan dengan kawan-kawannya. Bagaimana kalian harus memilih mall paling sepi untuk menonton film. Lagi. Supaya dia tidak berpapasan dengan rekan-rekan yang mungkin dikenalnya. Bagaimana dia menghindari restoran terkenal karena alasan yang sama. Oh, dia tidak bilang persis begitu. Katanya dia hanya tidak suka keramaian. Meskipun di kemudian hari terbukti dia menikmati keramaian -asal bukan denganmu.

Hatimu mencelos saat memikirkan bagaimana dia dengan penuh semangat mengagendakan hari berdua bersamanya sejak jauh hari. Sementara kamu harus mengemis merendahkan diri memutar otak demi mendapat secuil waktu senggangnya.

Bukan berarti dia hanya memanfaatkanmu. Dia peduli. Dia selalu pasang badan saat kalian jalan kaki berdua. Dia merapikan ponimu yang berantakan. Dia mencium keningmu sebelum pulang. Dia menuruti maumu. Dia tidak suka kamu sakit. Dia mau menemanimu ke rumah sakit. Dia bahkan cemburu. Di hubungan normal, semua itu sungguh cukup.

Tapi hubungamu dengannya sama sekali tidak normal. Ada cincin di jari tengahnya, kamu tidak tahu itu apa tapi jelas itu simbol komitmennya dengan seseorang yang dipunyanya. Ada sejarah dan kenangan dan hal-hal indah di antara mereka yang sudah berlangsung sejak lama dan hingga sekarang. Kamu tahu betul kehadiranmu yang belum lama bukan apa-apa dibanding yang mereka punya.

Sungguh tak masuk akalmu mengingat ucapannya kala itu, “hubunganku dengan dia udah nggak jelas”. Hubungannya denganmu yang sama sekali tanpa kejelasan.

Seluruh sisa akal sehatmu berteriak menyuruhmu menyudahi hubungan tak jelas itu sekarang juga. Namun kamu sudah tidak waras. Yang kamu lakukan hanya adu kuat dengan waktu. Kamu sedang menunggu dia menyakitimu lebih lagi. Kamu tidak suka ditinggalkan. Kamu tidak mau patah hati sendiri.

No comments

Halo, terimakasih sudah mampir di JurnalSaya. Satu komentar Anda sangat berarti bagi saya.
Semua komentar dimoderasi ya. Komentar yang berisi pesan pribadi akan saya anggap spam.
Oiya, tolong jangan tinggalkan link hidup di badan komentar. Kisskiss