Saya pernah baca sebuah artikel di Mojok tentang sebuah
perjalanan panjang Madura-Lampung via Banda Aceh. Konon katanya perjalanannya
memakan waktu 202 jam, melalui jalan darat sepanjang 3.800 km. Diceritakan
bagaimana ajaibnya lintasan di sana. Ajaib keindahannya di sekitaran danau
Toba. Ajaib pula kelokan-kelokan di sepanjang perjalanannya.
Sebagai seseorang yang punya mantan suami orang Batak,
tentu saya pernah bertandang ke pulau seberang. Namun saya memilih jalur udara
yang aman. Selain karena saat itu beli tiket bus ALS enggak semudah sekarang,
saya juga pemabuk (mabuk perjalanan maksudnya, bukan mabuk khamr).
Perjalanan pertama (sekaligus terakhir, tentu saja) saya
ke kota kecil di antah berantah Sumatera Utara waktu itu dimulai dari Semarang.
Tiga jam perjalanan udara di atas kertas, karena praktiknya nunggu di bandara
transit seharian. Kemudian dilanjutkan perjalanan darat sepanjang lebih dari 360
km selama semalam suntuk dimulai dari kota Medan yang malam hari pun masih
sepanas Semarang melalui danau Toba, Parapat, hingga Tarutung yang dinginnya
sebelas-dua belas dengan Dieng. Melewati Pematang Siantar yang saya kira adalah kota asalnya
Anastasia Siantar, enggak lupa melewati seribu satu kelokan yang beneran bikin
mabuk.
Sepanjang perjalanan, viewnya sungguh gelap. Ya karena
saya jalannya tengah malam. Saya rekomendasikan kalian yang mau ke sana pagi
aja, biar lihat sekeren apa danau Toba.
Sampai di kota tujuan, well, pantai-pantai cantik
bertebaran di pinggir jalan. Saya enggak akan menyangkal, sejujurnya kota kecil
di antah berantah Sumatera Utara yang lokasinya terletak di sepanjang garis
pantai ini punya potensi wisata bahari yang bagus. Kota-kota sekitarnya juga. Sekitar
2 jam perjalanan naik sepeda motor dari sana ke arah provinsi NAD ada pantai
terpencil yang cantik banget. Ada semacam tanjung yang mengarah ke tengah laut
yang saat air laut pasang akan terlihat seperti pulau sendiri. agak mirip
seperti di kepulauan Morotai. Kalau bukan karena itu kampung halaman mantan
suami, mungkin saya ingin liburan ke sana.
Tapi saya sama sekali enggak menyesal pernah melakukan
perjalanan lebih dari dua ribu kilometer itu. Banyak sekali hal yang saya
pelajari. Meski tentu saja enggak mudah. Seperti dipaksa magang sehabis
menerima mata kuliah Antropologi Budaya padahal sebelumnya diberitahu bahwa mata
kuliah tersebut cuma teori.
1. Tentang
Kearifan Lokal
Setiap daerah punya kearifan lokal masing-masing. Nilai
yang terkandung sudah pasti bagus. Meski kadang antara satu daerah dengan
daerah lain sangat bertolak belakang. Saya notice ada satu hal soal sopan santun yang bertentangan antara kearifan
lokal Jawa dan Batak.
Common sense Batak mengatakan kalau orang yang banyak
omong adalah orang yang pandai basanak (artinya ramah, pintar mengobrol). Sementara
di Jawa, banyak omong adalah indikasi dari sifat sombong atau pamer.
Lantas apakah kearifan lokal salah satu suku ini salah? Enggak
juga. Cuma beda. Tugas kalian para manusia untuk beradaptasi dengan adat
setempat.
2. Semua Suku itu
Chauvinis
Semacam unpopular opinion, tapi memang kok. Contoh nih
ya. Mamak-mamak Jawa bilang: “jangan sama orang Batak, kasar!” Sementara
inang-inang Batak bilang: “orang Jawa itu omongannya halus, tapi hatinya busuk.”
Dan ada ama-ama Cina bilang: “jangan sama huana!”
Saya yakin masih banyak contoh lain.
Wajar kok. Semuanya saling merasa sukunya yang terbaik,
karena kurang mengenal suku lain sampai ke dalam-dalamnya. Enggak salah juga.
3. Bukan Orang
Mana, Tapi Orang Seperti Apa
Enggak adil nge-judge seseorang berdasarkan tempat
asalnya. Setiap orang adalah kombinasi dari latar belakang sosial, budaya,
ekonomi, serta paparan selama hidup. Kalau ada orang Batak yang kasar, itu
memang karakternya yang kasar. Bukan karena sukunya. Kalau ada orang Jawa yang
munafik, itu emang dasar orangnya. Jangan salahkan suku Jawanya.
Toh pada akhirnya kita semua bangsa Indonesia. Daripada
mengagung-agungkan suku sendiri, mending cerita tentang keindahan kampung
halaman kan? Mendukung hashtag explore Indonesia. Kalau explore pakai pesawat
terasa kemahalan, beralih pakai bus. Sungguh, setiap tikungan di pelosok
Indonesia itu cantik. Tapi kalau kalian pemabuk seperti saya, plis, jangan
pernah lupa minum obat anti mabuk perjalanan.
No comments
Halo, terimakasih sudah mampir di JurnalSaya. Satu komentar Anda sangat berarti bagi saya.
Semua komentar dimoderasi ya. Komentar yang berisi pesan pribadi akan saya anggap spam.
Oiya, tolong jangan tinggalkan link hidup di badan komentar. Kisskiss