Pulang
kantor masih sore langsung ke kos, diam-diam aja sampai besok pagi ke kantor
lagi, lalu pulang langsung kos dan nggak ke mana-mana lagi sudah jadi aktivitas
normal 2 bulan terakhir. Pandemi Covid-19 ini memang something. Bikin
capek otak sampai ngaruh ke fisik. Saking overthinking beberapa waktu
lalu saya sampai burn out dan maag kambuh.
Saya
ingat betul waktu awal-awal Covid-19 masuk Indonesia, akhir Februari ke awal
Maret. Saya masih parno-parnonya. Beberapa kali sehari saya browsing
soal virus corona. Saya bacain juga cerita orang-orang yang terinfeksi. Kok
gejalanya beda-beda banget. Saking seringnya baca ciri-ciri virus corona, saya
jadi ikutan batuk-batuk dan meriang. Makin parno, saya konsultasi lewat
berbagai aplikasi kesehatan. Salah satunya Halodoc.
Menurut
saya, UX Halodoc ini paling nyaman dibanding beberapa aplikasi serupa yang
pernah saya coba. Belum pernah nge-lag pula! Bahkan sekarang udah ada
tab ‘Tes COVID-19’. Pas nyoba 2 bulan lalu, saya pilih sesi ‘Periksa COVID-19’.
Di situ ada pertanyaan-pertanyaan semacam screening mandiri. Lalu saya
diinfo termasuk kategori resiko tinggi. Mungkin karena saat itu saya sedang
mengalami batuk sesekali dan bekerja di retail (batuk ini di kemudian hari saya
ketahui cuma efek psikosomatis).
Dari
situ saya chat dengan dokter. Pilih yang gratis sih. Sayangnya ada beberapa
catatan yang saya buat selama konsultasi di Halodoc. Pertama, mereka nulis dr.
pakai huruf ‘D’ kapital. Kedua, antrean chat dokternya lama. Ketiga,
dokter yang chat saya manggil ‘pak’, mungkin saking sibuknya ya. Hasil konsultasinya
standar aja sih. Direkomendasikan untuk minum multivitamin, istirahat cukup,
dan isolasi mandiri.
Tapi
itu preferensi pribadi. Teman-teman saya banyak yang pakai Halodoc juga dan
merasa terbantu sekali terutama untuk konsultasi kesehatan yang ringan-ringan. Nanti
saya coba lagi konsultasi dengan dokter lain yang berbayar.
Kembali
ke persoalan stres akibat pandemi. Sekarang saya sudah lebih santai. Sejak
angka positif Covid-19 di Indonesia menyentuh 500-an, saya nggak lagi update
berita tiap hari. Baik berita kasus positif maupun imbas-imbas ekonominya.
Selain
mengurangi baca berita buruk, saya punya 5 benda yang saya andalkan sebagai distraksi
untuk menjaga kesehatan mental selama pandemi. Kan bukan hanya kesehatan fisik
yang harus dijaga.
- Lipstik
Well, ini terkesan ngawur. Sekarang saya pakai masker tiap keluar
rumah. Pakai lipstik pun nggak akan kelihatan. Saya memang nggak pakai lipstik
kalau pakai masker. Nyucinya susah kalau nempel. Itu satu hal sepele tapi menyebalkan
dari memakai masker.
Tapi
lipstik adalah mood booster buat saya jauh sebelum musim corona. Jadi
saya mengalihkan pemakaian lipstik di kos. Pakai makeup full
sampai lipstik hanya untuk foto-foto tanpa konsep itu liberating sekali.
Makes me stay sane, tho.
Baca: Makeup Collaboration bareng Beautiesquad
- Hand Sanitizer
Saya
selalu sedia hand sanitizer di pouch dan di meja kantor. Meskipun
sebenarnya jarang digunakan karena saya lebih suka cuci tangan di bawah air
mengalir dengan sabun. Tapi penting aja buat saya tetap bawa. Sedia payung
sebelum hujan lah ya. Minimal bikin nggak panik saat nggak sengaja bersentuhan
dengan orang lain. Atau buat bersihin gadget yang habis dipinjam.
- Black Cloth Mask
Ini
agak halu, tapi biarin lah ya. Pakai masker hitam polos bikin saya membayangkan
rasanya jadi idol/aktris Korsel wqwq. Anggap saja sebagai cara saya mengompensasi
absennya lipstik di MOTD sehari-hari.
- Buku
Who
doesn’t love books? Membaca buku, entah
fiksi atau non fiksi bisa memperbaiki mood. Dan tentu saja mendistraksi
pikiran supaya nggak mikir yang macem-macem. Sekarang saya sedang paralel baca
Everybody Lies-nya Seth Stephens-Davidowitz dan Marketing 4.0-nya Philip
Kotler. Dua-duanya buku non fiksi. Bacanya harus sambil coret-coret. Cocok lah
untuk menyibukkan otak. Tapi kalau otakmu sedang terlampau sibuk karena stres, saya
rekomen baca novel ringan saja.
Baca: Cerita tentang Antologi Rasa
- Ponsel
Sudah
jelas. Lagipula siapa yang bisa jauh-jauh dari ponsel ya kan? Untuk menjaga kewarasan,
saya membatasi browsing soal Covid-19 lewat ponsel. Sebisa mungkin
jangan deh. Nanti parno lagi. Saya lebih sering pakai ponsel untuk online
shopping (berasa dapat hadiah pas terima paket), scroll Twitter
tanpa tujuan, atau baca buku digital. Oh, well, balesin chat di
grup kerjaan juga sih. Much better than pusing mikirin
corona.
Kamu
gimana selama musim corona? Cerita dong jurus-jurusnya supaya tetap waras di
tenagh-tengah situasi nggak jelas kayak sekarang!
Iya bener banget awal-awal covid masuk aku up to date banget. tapi sekarang aku nggak soalnya biar sehat.
ReplyDelete