Pernah dengar ada yang bilang commitment is scary for fire sign, kan? Sebagai seorang sagittarian, well, kinda true. Menikah itu seperti ambil KPR. Kamu butuh menabung untuk ngumpulin DP, lalu berhemat lagi untuk bayar cicilannya setiap bulan selama setidaknya 10 tahun ke depan.
Baca:
Tentang Nikah Muda
Menikah Sama Seperti Ambil KPR
Bayar
cicilan saja lalu selesai? Tentu nggak dong. Setelah kamu menempati rumahnya,
kamu perlu meluangkan energi dan uang lagi untuk maintenance rumahmu
agar nyaman dihuni. Renovasi sana-sini juga. Re-décor tiap beberapa
tahun karena tren dekorasi rumah akan selalu berubah, dan rumah harus selalu insta-ready
jika sewaktu-waktu ada tamu yang ngajakin house-tour dan
dijadikan konten Instastory.
Nyapu-ngepel
seluruh permukaan rumah tiap hari. Ngelap-ngelapin kaca biar nggak buluk.
Bersihin kamar mandi seminggu sekali biar nggak mirip lokasi syuting film
horor. Ganti-ganti bohlam lampu tiap ada yang mati. Pasang tandon air supaya
persediaan air bersih aman. Bayar listrik karena apa yang bisa kamu lakukan
tanpa listrik?
Baca:
Don’t Tie The Knot with These Guys
Me-maintain
pernikahan membutuhkan energi yang nggak sedikit. Kamu dan pasangan harus
sevisi sejak awal. Perbedaan memang menjadi warna dan membuat kalian saling
melengkapi, kalau bukan di hal-hal yang sifatnya prinsipil.
Kompromi
dan toleransi menjadi makanan sehari-hari kalau ingin pernikahan berlangsung
harmonis. Kamu ingin ini, pasanganmu ingin itu, maka kalian harus bertemu di
tengah-tengah. Nggak bisa salah satu kemauannya harus selalu dituruti dan yang
satu selalu mengalah.
Well,
mungkin bisa, tapi akan tahan sampai kapan? Beneran yang hobi ngalah itu memang
ikhlas atau memendam perasaan saja? And deep down, are you really enjoy the
marriage? Karena kalau nggak bikin nyaman, apa esensinya pernikahan?
Baca:
Pre-Marriage Talks
It takes two to tango. Mewujudkan pernikahan yang sehat dibutuhkan usaha dari
dua orang. Kamu dan pasangan perlu saling respek dan mengasihi. Kuncinya di
kata ‘saling’. Nggak bisa hanya satu arah.
Itu
sebabnya mindset menggantungkan kebahagiaan (dan kehidupan sejahtera)
pada pasangan nggak bisa saya terima. Nggak masuk di akal saya. Plis lah, kamu
tuh siapa sampai merasa kehadiranmu yang pasif saja sudah cukup buat pasanganmu
hingga menuntut mereka menuruti semua maumu?
Menyukai Rumah Harus Termasuk Lingkungan dan Tetangga
Selain
saling nurturing pasangan, kamu juga perlu saling bersikap baik pada
keluarga pasangan. Kan kalau di Indonesia menikahi seseorang berarti menerima
seluruh keluarga besarnya juga. Puyeng nggak tuh? Keluarga besar sendiri yang
jelas-jelas ada hubungan darah aja ribet, ini ketambahan keluarga besar
pasangan yang baru kamu kenal setelah dewasa. Makin banyak hati yang harus
dijaga. Makin banyak keponakan yang harus dibagi angpao saat hari raya.
Begitupun
saat mulai menempati rumah hasil KPR, kamu harus rukun dengan tetangga sekitar.
Harus mau bersosialisasi dengan warga lingkungan. Harus bisa me-manage
senyum dan bersikap ramah by default. Oke lah, part ini mudah
dilakukan. Sebagai orang dewasa, tentu bersikap ramah by default
sudah dilaksanakan setiap hari.
Kalaupun
ada tetangga yang hobi ghibah ya dicuekin aja ya, kan udah khatam baca The
Subtle Art of Not Giving a Fuck. Kalau ada grup WhatsApp komplek ya ikut aja,
bahasannya nggak sefrekuensi tinggal mute. Yang penting selalu jaga
senyum kalau ketemu walaupun hati mangkel. Itu kan konsekuensi ambil KPR di
lingkungan tersebut.
Resiko di Tengah Jalan
Namun
masih ada resiko lain. Gimana kalau ternyata rumahmu itu dulunya bekas
pemakaman? Atau ternyata berhantu? Atau seabad yang lalu menjadi lokasi
penyiksaan rakyat oleh penjajah? Atau itu tanah sengketa? Atau malah developer-nya
menjadikan rumahmu sebagai media pencucian uang? Atau skenario-skenario lain.
Terdengar lebay, tapi bukan nggak mungkin terjadi beneran IRL lho.
Ingin
secepatnya pindah rumah, tapi sudah terlanjur sign KPR yang cicilannya
masih 20 tahun lagi. Mau beli rumah lagi, nggak ada uangnya. Mau kembali ke
rumah mertua, terlalu banyak konflik. Mau jual rumah dulu, kok lakunya nggak
secepat jual emas. Ya ditahan-tahanin aja solusinya.
Sama
dengan menikah. Siapa yang menjamin kalau pasangan nggak berubah di tengah
jalan? Atau justru kamu yang berubah? Gimana kalau kalian seiring waktu jadi
nggak sefrekuensi dan semakin lama gap-nya makin lebar? Nggak sedikit
lho, pasangan yang awalnya sevisi lalu di tengah perjalanan salah satunya
hijrah dan jadi beda arah. Atau yang satu senantiasa growing sementara
pasangannya diam di tempat.
Oke
lah let alone itu masalah growing dan hijrah. Paling klasik
aja deh, apakah ada jaminan setelah dua, lima, atau sepuluh tahun nanti salah
satu dari kalian nggak bosan? Apakah ada jaminan cinta kalian masih ada? Ada
jaminan kalian tetap berusaha saling mengasihi satu sama lain? Ada jaminan salah
satu dari kalian nggak menyukai orang lain?
Ada Pilihan Ngekos atau Ngontrak Rumah
Saat
ini, jelas sekali saya lebih suka ngekos. Saya mendapat kenyamanan sebuah
tempat tinggal tanpa perlu memikirkan kerepotannya. Tanpa komitmen. Minim konsekuensi.
Bayar bulanan, kalau masih betah bayar lagi, ingin pindah mudah saja. Toh hidup
saya belum settle. Nggak ada yang tahu tahun depan saya ngapain dan ada
di mana.
Saya
nggak direpotkan soal urusan kebersihan dan maintenance seluruh rumah. Ada
ibu kos. Yang perlu saya kerjakan hanya menjaga kebersihan kamar yang saya
tempati. Kamar mandi kotor? Tanggung jawab ibu kos. Pompa air mati? Bilang ibu
kos. Lampu kamar anak kos lain masih nyala sampai siang? Bukan urusan saya. Akur
dengan tetangga? Oh, selama saya senyum dan sopan saat berpapasan di jalan, nggak
akan ada masalah.
Tentu
itu berlaku pada kehidupan romantic relationship juga. I do
enjoy punya partner date. Saya suka mendapat afeksi yang sederhana dari
orang lain (memangnya siapa yang nggak?) namun enggan komitmennya. Nggak perlu ada
grand gestures atau melibatkan perasaan terdalam karena saya pun
enggan.
Tentu
saya menikmati aktivitas makan bersama, atau bepergian bersama, atau bertukar
kabar selayaknya sekali waktu. Namun menghabiskan waktu 24/7 sampai setidaknya
30 atau 40 tahun ke depan dengan orang yang sama? Belum tentu saya menikmatinya.
Jadi
jawabannya: kapan-kapan.
No comments
Halo, terimakasih sudah mampir di JurnalSaya. Satu komentar Anda sangat berarti bagi saya.
Semua komentar dimoderasi ya. Komentar yang berisi pesan pribadi akan saya anggap spam.
Oiya, tolong jangan tinggalkan link hidup di badan komentar. Kisskiss