Artikel ini isinya beda kok dengan
thread yang saya buat di twitter hari
Minggu pekan lalu. Judulnya aja yang sama.
Anyway, thread twitter yang maksud itu ini.
Saya pernah nulis, salah satu hal
yang harus dipikirkan sebelum memutuskan bercerai adalah soal finansial. Mau
enggak mau, kondisi finansial akan berubah setelah bercerai. Ini berlaku bagi
yang IRT tulen sejak awal maupun yang sudah punya pekerjaan. Bagi yang sejak
dulu menjadi tulang punggung maupun yang tadinya merupakan tulang rusuk. That rhyme, tho!
Baca : Sebelum MemutuskanBercerai
Perubahan kondisi finansial
kalian setelah bercerai bisa memburuk atau justru membaik. Memburuk kalau
kalian jenis istri yang bergantung sepenuhnya pada pemberian suami dan kalian
buta sama sekali pada persoalan uang. Membaik kalau suami kalian jenis parasit.
Ya setelah cerai kan enggak ngurusin parasit lagi.
Ngomong-ngomong soal parasit ini,
kemarin saya baru dengar cerita seorang teman. Pernikahannya berantakan.
Tiba-tiba ceritanya banyak padahal sebelumnya semua orang mengira dia bahagia. Salah
satu masalahnya soal uang. Dan ironis, salah satu alasan teman saya bertahan
juga uang. Sedemikian kompleks masalah uang ini dan sedemikian rapuh pernikahan
itu. Teman saya sih belum official
bercerai ya, tapi perceraian sudah di depan mata. Sekarang dia mencari uang.
Satu hal yang pasti terjadi
sesudah kalian bercerai: kalian harus bisa berdiri di atas kaki sendiri. Kalian
harus punya uang, tahu cara mengelolanya, mengerti cara menyimpannya, dan tahu
kapan menggunakannya. Intinya, jadi divorcee
berarti jadi breadwinner.
Baca : Life As Divorcee #1
Caranya punya uang, tentu
mendapat dari sumber dana. Idealnya, kalian mendapat tunjangan dari mantan
suami kalau punya anak. Kalau kalian enggak dapat, ya cari penghasilan. Paling
gampang sih kerja.
Menabung dan Menentukan Prioritas
Saya suka membuat target tabungan.
Ada target untuk anggaran sekolah anak, untuk anggaran senang-senang, dana
darurat, sampai dana pensiun. Tapi realitanya sulit untuk membuatnya jadi
nyata. Terutama karena nabungnya sendiri. Ya itu kan resiko bercerai.
Nah, minggu lalu saya ke event Manulife, sharing soal finansial. Dari hasil survey kemarin, rata-rata masalah
semua orang adalah bisa nabung sedikit
karena banyak keperluan mendadak. Seharusnya keperluan mendadak bukan alasan enggak
bisa nabung kalau punya dana darurat. Makanya, ada yang namanya prioritas. Nabung
dulu, senang-senang belakangan.
Saya contohin deh. Saya selalu
menyisihkan sedikit gaji untuk ditabung di awal. Dalam jumlah yang sama tiap
bulan. Prioritas saya sekarang kamera dan dana darurat dulu. Soalnya sedih amat
ya blogger enggak punya kamera. Hahaha. Kalau kalian memprioritaskan biaya sekolah
anak juga boleh.
Setelah menyisihkan untuk
tabungan, baru saya bagi untuk pos-pos lain. Bujet skincare dan bujet beli buku
aja sih yang penting kalau saya. Ini personal banget. Setiap orang butuhnya
beda. Sisanya baru untuk daily basis
seperti bayar SPP anak, transportasi, kuota internet, makan, dan sejenisnya. Untuk
hedon gimana? Kalau saya, enggak terlalu butuh hedon. Paling beli sepatu aja
kalau sepatu lama udah rusak. Itu pun saya beli dari invoice kerjaan freelance.
Jadi enggak ganggu cashflow bulanan.
Dana darurat idealnya ekuivalen
dengan biaya hidup setahun. Biar apa? Biar kalau ada apa-apa kalian bisa
apa-apa. Dan biar bisa bantah kalau tiba-tiba mantan suami mau ngambil hak asuh
anak dengan alasan kalian enggak sanggup membiayai.
Inflasi dan Investasi
Saya enggak akan ngomongin inflasi
kaya Bu Sri Mulyani. Ini versi paling sederhana aja. Inflasi itu menurunnya
nilai mata uang, FYI. Misalnya, dua tahun lalu biaya ngurus cerai setengah juta
aja. Lima tahun lagi bisa jadi naik lima kalinya. Jadi kalau mau cerai lima
tahun lagi ya sekarang nabungnya pakai target estimasi biaya yang udah naik
itu. Kok gini amat ya contohnya.
Oke, ganti. Misalnya hari ini biaya
masuk SMP 12 juta. Padahal Uprin sekarang masih umur 4 tahun, masuk SMP 7 tahun
lagi. Kalau inflasi 5 % per tahun, tujuh tahun lagi biaya masuk SMP sekitar 17
juta. Berarti kalau nabung senilai 12 juta, 7 tahun kemudian enggak cukup. Solusinya
berarti nabung sebanyak 17 juta itu atau nabung yang 12 juta dan berharap nanti
mengembang jadi 17 juta.
Opsi kedua itu namanya investasi.
Tapi jangan investasi bodong ya. Bentuk investasinya terserah kalian. Bisa di
saham, properti, atau reksadana. Yang penting, saat memilih produk investasi,
selalu ingat bahwa makin tinggi returnnya, makin besar pula resikonya. Jadi kalau
ada yang nawarin investasi tanpa resiko tapi returnnya gede, kalian harus
curiga.
Jujur sih, saya belum pernah investasi
apa-apa. Kemarin banget saya baru mulai invest di reksadana. Saya bikin akun di
klikmami.com dan ternyata gampang banget. Investnya mulai dari seratus ribu
aja.
Reksadana emang returnnya enggak
besar ya, tapi terjangkau dan sejauh ini sih terbukti yang paling mudah untuk
pemula. Cocok untuk yang kondisi keuangannya enggak bagus-bagus amat.
Saya akan bahas lagi soal
investasi. Nanti. Setelah saya belajar lagi.
Manulife : Instagram | Twitter | Investasi
(ADV)
No comments
Halo, terimakasih sudah mampir di JurnalSaya. Satu komentar Anda sangat berarti bagi saya.
Semua komentar dimoderasi ya. Komentar yang berisi pesan pribadi akan saya anggap spam.
Oiya, tolong jangan tinggalkan link hidup di badan komentar. Kisskiss