Saya lupa pernah dengar di
mana : entah dengar dari mulut orang lain atau dengar dari suara kepala
sendiri. Buku yang bagus adalah yang meninggalkan pertanyaan setelah selesai
membacanya. Sophismata membuat saya mempertanyakan banyak hal tentang hidup,
passion, impian, cita-cita, dan bagaimana menjadi dewasa yang semestinya. Oh, well, kepala saya memang selalu dipenuhi
pertanyaan.
Saya setuju banget dengan
pendapat Sigi, bahwa apapun yang namanya pekerjaan, sesuka apapun, se-passionate apapun kita pada pekerjaan
itu, akan ketemu titik jenuhnya juga. Tapi selama ini saya percaya kalau
pekerjaan terbaik adalah yang sesuai dengan passion
kita, yang membuat kita bekerja dengan hati, bukan cuma pengisi waktu antara
hari Minggu hingga Sabtu.
Baca : Behind Those SleeplessNight
Menurut Sigi nggak begitu.
Passion nggak seharusnya dijadikan
pekerjaan karena nanti justru akan mengurangi nilai fun dari passion itu. Ya
bener juga sih. Di titik inilah kemudian saya bertanya-tanya.
Orang-orang
menggembar-gemborkan soal passion
segala macam, bahwa passion harus
dikejar sampai mati, bahwa hidup tanpa passion
itu sama saja nggak hidup. Passion membuat
kita bersemangat bla bla bla. Seakan-akan nggak punya passion dalam hidup itu dosa. Seakan-akan mereka yang bekerja tanpa
passion itu perlu dikasihani (bekerja
tanpa passion = kerja pakai seragam
di kantor yang membosankan, IMHO ya). Padahal kan siapa tahu kalau mereka
memang nggak butuh teori soal passion,
atau nggak peduli, atau memang passion
mereka kerja kantoran memakai seragam membosankan. Toh, siapa bilang yang
namanya passion harus selalu
berkenaan dengan hal-hal yang sifatnya kreatif dengan nafas kebebasan ?
Cukup soal passion.
Baca : Passion Saja TidakCukup (Warning : link yang ini nggak usah diklik, nggak baca-able banget artikelnya)
Saya agak bingung
mengomentari Sophismata, anyway.
PS : Saya nggak berniat spoiler, sungguh. Tapi ya gimana
akhirnya ada spoil-spoil juga.
Awalnya, saya agak nganu karena novel ini nggak sesuai
ekspektasi saya. Entah ekspektasi yang bagaimana. Tapi, membaca tagline di bawah judulnya, serta desain covernya, saya menyangka kisah Sigi akan
jauh lebih rumit. Malah tadinya saya kira something
happens antara Sigi dan Pak Johar. Ternyata cerita Sigi cukup simpel dan
menarik.
Latar belakang politik
nggak sekental yang saya harapkan. I mean,
seandainya setting politik diganti dengan setting pekerjaan media bisa juga.
Pak Johar adalah editor in chief sebuah
media berita yang selama ini dikira berintegritas dan jujur segala macam,
ternyata sifatnya oportunis. Kemudian Sigi adalah asisten pribadinya, yang
ingin naik pangkat menjadi jurnalis. Sementara Timur sedang membangun medianya
sendiri. Nggak akan mengubah cerita, ‘kan ?
Saya tadinya membayangkan
novel karya Alanda Kariza ini akan menjadi semacam thriller psikologis yang membuat pembacanya bingung, berpikir
keras, kemudian berakhir dengan bersikap skeptis terhadap hitam putihnya hidup.
Seperti efek yang saya dapatkan setelah membaca Hujan, Labirin Malam, Jangan
Main-Main Dengan Kelaminmu, atau setelah saya menonton Black Swan atau Country
Strong.
Bukan saya bilang
Sophismata nggak bagus loh ya. Saya suka Sophismata justru karena novel ini
sangat logis. Salah satu novel paling logis yang pernah saya baca. Nggak ada
karakter antagonis yang jahatnya lebay. Pun protagonisnya bukan perempuan
berkarakter tanpa dosa.
Sisi dramanya nggak cheesy. Padahal nih ya, the hero and the heroine di sini adalah high school crush. That typical long term crush, yang meskipun dasawarsa berlalu tapi
masih menimbulkan efek butterfly in
stomach kapanpun berinteraksi. Tapi sama sekali nggak ada sweet scene menye-menye di sini. Not even di first meet mereka. Nggak ada tuh acara awkward atau speechless
tralala. Nggak ada fancy dinner.
Apalagi adegan tabarakan kebetulan atau kepleset terus ditangkap. Mereka
bersikap layaknya orang dewasa. Hati-hati, terbuka, dan logis. They know each other bahkan tanpa bilang
apa-apa. Ralat : mereka saling memahami meski nggak tahu apa-apa tentang satu
sama lain.
Sigi itu tipe perempuan
sederhana, kalem tapi tegas. Bukan tipikal alpha
femiale yang menonjol macam Anya (di Critical Eleven) atau perempuan
millenial yang meledak-ledak yang jago flirting
macam Keara (di Antologi Rasa). Sigi lebih patuh, lebih membumi. Bukan orang
kaya raya, dan bukan juga orang susah. Sementara Timur, nggak ada yang spesial
kalau saya bilang. Hanya baik, dan mungkin ganteng. Tipe-tipe yang kalau di teenlit
pasti jabatannya ketua OSIS. Eh, Timur juga ceritanya mantan ketua OSIS ding. Nggak ada anak CEO perusahaan
multinasional atau sebangsanya.
Baca : Akhirnya Saya BacaAntologi Rasa (Lagi)
Karakter utama di sini
adalah dua millenial biasa yang bekerja setiap hari, yang punya mimpi dan
berusaha mengejarnya. Impian mereka nggak sederhana, tapi cara mereka meraihnya
sama seperti kita : bekerja keras. Nggak perlu menghalalkan segala cara demi passion, nggak perlu bertengkar dengan
orang tua karena cita-cita. Dan ya, bekerja tanpa passion itu nggak apa-apa.
Konfliknya mengalir
sederhana, nggak ada klimaks jungkir balik, nggak ada akhir bahagia selamanya.
Satu lagi, ada satu
kalimat Sigi yang menempel di kepala saya : “I don’t know. You tell me. Are you worthy ?”
Menurut saya sih worthy. Eh !
Ada yang sudah baca
Sophismata-nya Alanda Kariza juga ? Share
dong opini kamu !
Kiss kiss
Judul : Sophismata
Penulis : Alanda Kariza
Penerbit : Gramedia
Tahun Terbit : 2017
Jumlah Halaman : 272 hlm ;
20 cm
Viiir.. aku salut banget ih kamu suka baca novel . Novel satu-satu nya yang aku khatam baca nya cuma harry potter..
ReplyDelete*Anaknya males baca buku tuebel😂
Bagi saya novel logis itu menarik, nggak menye-menye cerita yang baik-baik, atau terlalu ekspos tokoh jahat yang penuh intrik. Btw, nice review Mbak, kalau ketemu bukunya pengen baca juga :)
ReplyDeleteHmmm saya kirain tadinya agak mirip sinetron dunia tanpa koma yg mana sigi mirip dg raya, pak johar mirip ama bossnya raya yg jg redsktur di media ybs
ReplyDeleteKlo novel jujur saya masi menggemari karya2 ayu utami yg byk menimbulkan tanya misal saman dan larung, djenar maesa ayu, dn tentu aja dee untuk pnulis lokal
Klo passion dijadiin pekerjaan semua lantas nanti hobi akan diidentikan dg sesuatu yg harus dikerjain seserius matapencaharian, hihi...bener juga sih, ga selamanya kerja bukan sesuae passion itu dosa
Passion itu bukan berarti stuck di itu - itu saja, justru harus berkembang. Aku memang suka sama pemikiran Sigi yang ini dan menyambungkan antara filosofis hidupnya dengan kue - kue yang dibuatnya. Tak lupa juga Timur yang objektif dan pemahaman politiknya yang levelnya dewa tanpa terkesan menggurui Sigi hehe.
ReplyDeletePokoknya novel ini bikin aku jatuh cinta sama karakter utama karena biasanya kalau baca novel aku lebih suka secondary karakter daripada karakter utamanya hehe.
www.extraodiary.com