Udah lama ya rasanya saya enggak nulis review buku ? Book Review terakhir yang saya tulis Sophismata, awal Agustus tahun lalu. Sekarang saya mau ngomongin soal Dirty Little Secret, metropop karya AliaZalea. Bukan terbitan baru. Saya saja yang baru nemu. Ceritanya menarik.
Baca : Sophismata, Passion Is Bullshit ?
PS
: Iya, ada spoiler.
Ya
ampun, saya bingung mau nulis dari mana. Dirty Little Secret ini secara teknis
penulisan enggak spesial. Alur maju, dengan kilasan-kilasan kenangan
karakternya di sana sini. POV orang ketiga serba tahu, dan happy ending. Enggak bikin penasaran?
Jangan
dijawab sebelum tahu siapa karakternya. Let’s
meet the hero and the heroine: Ben dan Jana. Mereka ini college sweetheart yang berpisah dan
bertemu lagi setelah delapan tahun. Dengan cinta tanpa syarat dan selamanya
tralala SHIT. Maafkan saya cursing. Karena mau dipikirin dari segi mana juga it seems unreal. Ya memang enggak
real sih, kan ini fiksi.
PS
lagi : Aduh ini bakalan spoiler banget. Kalau berencana baca novelnya, mending
stop baca tulisan ini sampai sini. Terusin lagi nanti kalau udah selesai.
Biarpun ceritanya
kedengaran klise sekilas, sebenarnya enggak. Ben dan Jana bukan tipikal
karakter yang akan disukai orang-orang yang erat dengan norma ketimuran
(maksudnya : kita, orang-orang Indonesia yang hobi ngusilin pilihan hidup
orang). Dua lead role ini ceritanya
kuliah di luar negeri. Mereka ketemu di suatu acara, saling jatuh cinta,
pacaran, lalu Jana hamil.
Lantas mereka menikah ? Enggak.
Ben belum siap jadi ayah, Jana menolak aborsi, kemudian mereka berpisah. Jana
pulang ke Indonesia, Ben melanjutkan hidup dan kuliahnya seperti nggak terjadi
apa-apa.
Baca : Don’t Tie The KnotWith These Guys
Di sini saya salut pada
mereka berdua. Baik Ben maupun Jana jujur pada diri sendiri, enggak repot-repot
hidup mendengarkan kata orang. Saya suka sikap Ben yang sangat realistis. Cinta
ya cinta, tapi kalau belum siap menikah ya jangan dipaksakan. Dari pada menikah
dalam keadaan terpaksa, nanti akhirnya enggak akan berhasil, sama-sama kecewa malah
jadi enggak cinta lagi. Jadi Ben nyuruh aborsi itu bukannya jahat ya. Hanya saja
dalam keadaan begitu, aborsi adalah pilihan paling masuk akal.
Saya juga suka sikap tegas
dan bertanggung jawab Jana. Terlanjur hamil itu apesnya mereka, tapi bayi yang
belum lahir itu berhak hidup juga karena sudah terlanjur hidup di perut. Sebagai
calon orang tua, Jana merasa harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Kalau
pun Ben enggak sependapat, itu masalah lain. Jadi Jana meninggalkan Ben dan
pulang ke rumah.
Berani banget ya si Jana
pulang dalam keadaan hamil tanpa suami gitu. Kalau saya jadi Jana udahlah kabur
aja mending jangan pulang-pulang lagi.
Dan orang tua Jana juga
juara banget. Enggak memaksa Jana untuk menikah dengan random guy hanya demi
menutupi aib. Langka tuh orang tua macam itu. Tipikal orang tua Indonesia pasti
akan maki-maki anaknya lalu mencoret nama anaknya dari daftar penerima warisan
lalu mengirim si anak ketempat antah berantah.
Sounds
familiar? Hahaha.
Setelah delapan tahun
berlalu, dua lead role ini sudah
dewasa penuh. Dua-duanya punya karir bagus dan mapan. Oh, ternyata mereka
berdua sama-sama anak dari pengusaha kaya raya. Anak mereka kembar, dibesarkan
sendiri oleh Jana. Ben enggak tahu dia punya anak. Dikiranya Jana dulu jadi
aborsi.
Oh iya, ceritanya si Ben
ini kerjanya di luar negeri. Kemudian pulang ke Indonesia karena pekerjaan dan
alasan pribadi. Alasan pribadinya : nyari Jana untuk diajakin nikah. Hahaha ...
Lucu enggak sih ? Apa saya doang yang ketawa ?
Kemudian alam semesta pun
berkonspirasi, Ben ketemu juga sama Jana. Alam semesta berkonspirasi lagi,
dengan berbagai ini dan itu akhirnya mereka berempat hidup bersama dan bahagia
selamanya. Berempat ya : Ben, Jana, dan anak kembar mereka yang udah delapan
tahun. Oh, well, berdelapan ding :
sepasang orang tua Ben dan sepasang orang tua Jana.
Nah,
bagian Ben ngejar-ngejar Jana setelah delapan tahun itu yang bikin saya iyuwh. Enggak
masuk akal ih. I mean, setelah
delapan tahun enggak mungkin kan hati orang enggak berubah ? Dan Jana juga sama.
Tapi
enggak penting sih ngurusin hati orang berubah apa enggak. Seperti yang saya
bilang di paragraf awal tadi, ini kan fiksi.
Despite of
hati orang yang enggak berubah setelah delapan tahun tadi, justru kisah Ben dan
Jana ini bisa banget diambil pelajarannya. Bahwa segala sesuatu (in this case : pernikahan) akan terlaksana kalau sudah waktunya. Maksud saya
adalah udah woy kalian yang masih muda plis enggak usah nikah dulu. Ya ampun,
udah berapa artikel saya tulis yang bahasnya ini lagi ini lagi.
Oke,
gini. Saya tuh kesel sama orang-orang yang mengkampanyekan nikah muda dengan
alasan menghindari zina. Hell, kalau
itu alasannya mending zina aja deh beneran. Saya enggak mau bilang ini lagi,
tapi terpaksa saya bilang lagi. Pernikahan itu rumit serumit-rumitnya perkara. Titik.
Baca : Resik V dan Keluarga Harmonis, Ada Hubungannya ?
Ini
kenapa nulis review buku jadinya melantur ? Oke, ini enggak masuk kategori Book
Review.
Udah
lah ya. Silakan kalau mau komen.
Kiss
kiss.
No comments
Halo, terimakasih sudah mampir di JurnalSaya. Satu komentar Anda sangat berarti bagi saya.
Semua komentar dimoderasi ya. Komentar yang berisi pesan pribadi akan saya anggap spam.
Oiya, tolong jangan tinggalkan link hidup di badan komentar. Kisskiss