![]() |
Ilustrasi, via pixabay |
Teman
kuliah saya (who is one of my besties)
dulu seringkali bilang, “pinter nggak penting, yang penting kelihatan pinter”. Such a controversial statement, huh?
Tapi mau tidak mau saya mengakui pernyataan tersebut banyak benarnya. Saya pun
akhirnya menjadi salah satu penganutnya.
Begini,
menurut pengamatan saya, guru/dosen seringkali memberikan nilai rapor/yudisium
bukan hanya berdasarkan pada lembar jawaban ujian akhir semester tetapi juga
penilaian sehari-hari selama satu semester penuh. Bisa juga lebih dari satu
semester. Pokoknya berdasarkan performa keseharian.
Itulah
pentingnya membangun reputasi kelihatan pintar. Murid yang kelihatan pintar
berpotensi mendapatkan nilai lebih tinggi daripada murid yang benar-benar
pintar tapi tidak kelihatan. Murid yang kelihatan pintar berpotensi lebih
dikenal, lebih dihargai, lebih dipertimbangkan, lebih diperhatikan, daripada
murid pintar yang tidak kelihatan.
Saya
pernah punya teman yang cukup pintar namun agak menjengkelkan. Dia ini sangat
pemilih soal teman, hanya mau berteman dengan sesama anak pintar atau terkenal.
Agak prestis juga sih menjadi salah satu temannya, karena dia dikenal sangat
pemilih itu tadi. Bahkan teman saya yang benar-benar pintar tidak dianggap
teman. It means, saya kelihatan
pintar dong ya? :P
Ada
juga cerita lain. Ada seorang teman yang benar-benar kelihatan pintar, karena
berhasil membangun reputasi seperti yang saya lakukan. Teman-teman lain dan
para expert (who is dosen/guru/senior) pun jauh lebih segan kepada si teman ini
daripada teman si teman yang sebenarnya jauh lebih pintar tapi tidak kelihatan.
Kedengaran
tidak adil bagi murid yang pintar beneran? Sebenarnya tidak juga. Untuk kelihatan
pintar membutuhkan usaha, namanya membangun reputasi. Sedikit demi sedikit,
konsisten, dan berkesinambungan.
![]() |
Ilustrasi, via pixabay |
Pintar
identik dengan kutu buku. Itulah sebabnya saya lebih suka menenteng buku-buku
tebal daripada memasukkannya dalam tas. Kedengarannya merepotkan? Biar. Itu
namanya pencitraan.
Saya
juga rajin-rajin mengunjungi perpustakaan dan berlama-lama di sana. Meskipun
seringnya saya hanya duduk bengong sambil memperhatikan pengunjung lain, lalu
mereka-reka cerita, sesi nongkrong di perpustakaan tidak boleh dilewatkan kalau
ingin kelihatan pintar. Kalau ada yang menelpon tapi sedang malas meladeni,
tinggal bilang “sedang di perpustakaan”. Kalau terlambat masuk kelas, tinggal
bilang “dari perpustakaan”. Pencitraan tanpa berbohong.
Lalu
ketika musim yudisium, saya akan pura-pura sedih setengah mati kalau ada nilai
kurang dari B+. Walaupun aslinya saya tidak sesedih itu (well, saya senang mendapat nilai A, tapi nilai B bukan akhir dunia).
Dengan begitu orang lain yang melihat akan mengira saya selalu mendapat nilai
bagus. Kedengaran dangkal? Itu namanya konsistensi dalam membangun reputasi.
Berbohong? Bukan, saya menyebutnya mendalami peran.
Apakah
kesan dari luar saja akan berhasil untuk misi kelihatan pintar? Tentu saja
tidak. Saya harus punya bahan pembicaraan yang bisa didiskusikan atau minimal
ditanyakan pada expert. Untuk
mempunyai bahan diskusi, apa lagi yang dapat saya lakukan kecuali harus
membaca? Selain membaca, demi kelihatan pintar saya tidak boleh menunggak
tugas. Semua harus selesai tepat waktu, meskipun itu berarti begadang semalam
suntuk. Hanya orang-orang tidak pintar yang tidak mengumpulkan tugas tepat
waktu.
I did good.
Saya berhasil kelihatan pintar. Meskipun pernah gagal di beberapa kesempatan,
citra anak pintar masih melekat pada saya. Oke, yang ini narsis.
Saya
harus membangun reputasi lagi sekarang. Di dunia maya, maksud saya. Bukan
sebagai murid yang kelihatan pintar lagi, tentu saja. Kali ini saya ingin
kelihatan bijak dan selalu positif. Tadinya saya mau kelihatan cablak namun
ramah. Tapi sulit, karena saya sama sekali bukan orang yang pandai
mengungkapkan isi pikiran secara verbal, saya juga bukan pribadi ekstrovert
yang ramah setiap saat. Tadinya saya juga mau kelihatan cool. Namun tidak mudah, karena saya tidak bisa menahan diri untuk
tidak membalas komentar berbahasa jawa dengan bahasa jawa, sedangkan saya tidak
tahu caranya memberikan kesan cool
pada bahasa jawa. Kalau ada yang tahu caranya, beritahu saya ya!
Opsi
paling memungkinkan tentu saja kelihatan bijak dan selalu positif. Saya punya
stok pengalaman pahit yang bisa saya jadikan inspirasi menulis status fesbuk
bergaya positif. Saya juga punya stok kenangan manis yang siap dijadikan bahan
pembuatan quote.
Lalu
saya isi twitter saya dengan berbagai life
quote dari instagram atau pinterest (akun twitter saya @phirlyprincessa,
follow ya?). Lalu saya tahan diri untuk tidak mengeluhkan apapun di media
sosial. Termasuk mengeluhkan kelakuan stalker
yang kurang kerjaan.
But, first,
saya perlu menghilangkan jejak-jejak alay
saya di media sosial. Itu mudah di instagram, karena feed saya hanya 200an, dan saya mulai aktif di instagram setelah
dewasa. Itu mudah juga di twitter, karena twit saya lebih sedikit lagi, dan
saya juga pengguna baru twitter. Berbeda dengan facebook, yang mana saya
menjadi warganya sejak........saya tidak ingat. Tapi kebanyakan dari kita grew up with facebook, didn’t we?
Misi
membangun reputasi kelihatan bijak di fesbuk saya mulai dengan menghapus
foto-foto tanpa jilbab. Saya bukannya sok suci. Saya pernah berada pada fase di
mana saya ke minimarket memakai hot pants,
senang mengunggah foto dengan rambut tergerai, dan sebangsanya. Sekarang tidak
lagi. Jadi rasanya risih kalau aurat saya dilihat orang di internet. Iya kan?
Selesai
urusan foto tanpa jilbab, saya beralih ke hal-hal remeh. Thanks to facebook yang selalu mengingatkan apa saja yang pernah
saya tulis di tahun-tahun sebelumnya. Jadi saya bisa menghapus post-post yang
tidak terkesan bijak, yang ternyata sangat banyak jumlahnya. Ini penting
menurut saya, kalau-kalau ada profesional yang mengintip akun saya (walaupun
kemungkinannya sangat kecil), tidak akan terlalu memalukan.
Jadi,
sudahkah saya kelihatan bijak? Left your
comment below ya?
PS
: Tulisan ini juga bagian dari #CollaborativeBlogging. Baca tulisan mak Indah Juli
: Membangun Reputasi
Baca
juga postingan kolaborasi saya sebelumnya : Bullies Sebenarnya Saya Berempati ;
Kutukan Penulis ; Quality Time Tanpa Gadget ; Saya Kepingin Jadi Vampir ; dan Tentang Nikah Muda.
Buat aku dulu sosmed cuman sarana sharing aja, tapi ngga lebay sampai semua ditulis di sosmed, sekarang sosmed bantu maksimalkan blog, sharing dari sosmed terbukti bisa bantu reach target pembaca. Menurut aku sosmed bisa dijadikan sarana apapun, yang penting bijak dalam berbagi :D btw twitternya dah aku polow, polbek kaaak :D
ReplyDeleteIya, bener banget.
DeleteUdah sy polbek juga tuh 😊
ketoke aku blum pollow twitermu deh mbake.
ReplyDeletehaha...strateginya bagus itu. toh ada niat untuk jadi lebih baik ya.
kalo diperhatikan, memang anak yang super yang lebih diperhatikan guru/dosen. kalo anak TK dulu itu saya perhatikan, anak yang super rajin, super ramah, super bandel, super berisik, super usil dan super-super lain yang cenderung diperhatikan guru.
yang biasa aja atau yang anteng cenderung kurang diperhatikan. yang super diem makin jauh dari diperhatikan. ini kasus di TK anak saya ya, bukan generalisir.
Bener banget mbak, yg kelihatan super2 justru diperhatikan. Termasuk yg kelihatan super diam 😅
DeleteDifollow dong 😉
hahaha, aku senyum2 sendiri sambil bayangin Mbak Virly nenteng buku gitu. Tapi, memang pilihan menjaga reputasi itu perlu ya meski dengan cara2 yg elegan seiring bertambahnya usia :D
ReplyDeleteBeneran loh, sy dulu ke sekolah pasti nenteng buku segede gaban... Hahaha...
DeleteHarus sesuai usia emang,,, nggak lucu kalo udah emak2 gini apdet status galo 😆😆😆
Wuiih, tulisannya polos dan mengalir begitu aja. Bunda suka. Betul sekali, I agree with you. I did grow up with facebook too. Give me 5!
ReplyDeleteTerima kasih bunda 😊
Deletesaya sebenarnya paling takut dijudge karena sosmed, ya tahu sendiri lah mbak, masih banyak banget orang yang kalo baca status asal baca terus baper.
ReplyDeletebelakangan saya suka sedih liat status yang rasis. mungkin karena saya minoritas jadi membaca status beberapa teman yang seolah 'meminggirkan' saya itu rasanya pedih. jujur mending baca status galau daripada baca status yang kaya gini :(
Ya orang yang baperan ato rasis diunfol aja 😊
DeleteSemoga nggak ada yg gitu lagi ya? Semangat!
Bisa ditiru nih. Khususnya menghabus status2 alay zaman dulu. Kalau baca lagi kaya malu sendiri akunya. :(
ReplyDeletePokoknya harus bijak deh ber-sosmed. Untung ada suamiku yang suka mengingatkan kalau saya lagi kumat lebay-nya trus nulis status di sosmed. "Ingat umur, Bu." gitu kata beliau.....
ReplyDeletebeberapa waktu lalu aku sempet ngomong ke temanku, lagi butuh foto pose bagus + close up buat identitas as a blohher nubi plus pencitraan karena lagi bangun karier di dunia ini *tsaahh ... temenku cuma bilang "hidup itu jangan pakai pencitraan, harus jujur dari hati" ... eaaaaa whatever lah
ReplyDeleteJadi pembelajaran bijak menyikapi etika dan kedewasaan memaintain diri di semua akun sosmed ya mbak,😃
ReplyDeleteIG &Twitter (@cputriarty)
aaaaaaak couldnt agree no more!!!
ReplyDeleteSolusi tempat untuntuk move on dari para mantan, hikshiks Bidara
ReplyDeleteJaman skrng katanya ada lho perusahaan kalau mau menerima karyaan juga liat2 medsosnya, jd emang kudu ati2 ya skrng
ReplyDeleteTFS :D