Jadi, kadang-kadang saya
suka scrolling grup mother-mother jaman now di Facebook. Plis, jangan close tab dulu ! Di dalam grup itu penghuninya bebas curhat. Jadinya ya
semacam tempat sampah sih. Semuanya tumpah di sana. Campur aduk mulai dari
berita bahagia, thread iseng
nirfaedah, curhatan yang berpotensi menuai derai air mata, hingga cerita sensasional
yang minta dicaci banget.
Yang paling banyak tentu
saja cerita sedih mengharu biru. Konflik menantu-mertua yang nggak pernah
habis, iri-irian sama ipar, suami doyan jajan, suami kurang ajar, gaji suami
dikit, macem-macem. Yang ada di otak saya : kasihan. Mereka sampai cerita
masalah domestik di grup media sosial, yang mereka nggak kenal orang-orangnya.
Pasti mereka have nobody to talk to
di dunia nyata.
Tapi bukan itu yang jadi
pusat perhatian saya. Melainkan komen-komen di bawahnya. Kalau nggak nyuruh
sabar ya nyuruh cerai. Sebenarnya dalam hati saya juga nyuruh cerai aja sih. Cut your losses, kalau nggak nyaman
ngapain diterusin. Simpel. Tapi kan nggak bisa begitu juga. Orang punya
pertimbangan masing-masing.
Baca : Life As Divorcee #1
Let
me tell you this ya. Bercerai itu mudah. At least bagi yang muslim seperti saya. Kalian
berantem, suami bilang cerai, ya itu udah cerai. Buka kitab fiqih lagi deh.
Administratifnya juga gampang. Waktu itu saya di pengadilan agama sih seharian,
tapi sidangnya cuma 5 menit. Literally
5 menit, yang lama ngantrinya. Artinya : pasangan yang cerai banyak banget.
Baca tulisan saya di Mommiesdaily : Being Young and Beautiful Divorcee
Cerainya gampang,
sayangnya kehidupan pasca bercerai nggak segampang itu. Well, nggak susah juga sih sebenarnya. Eh, ya tergantung orangnya ding. Untuk perempuan selfish, keras kepala, nggak mau diatur,
nggak suka ngalah kayak saya, hidup sendiri itu beyond exciting. Nggak perlu berantem , nggak perlu nurutin kata
suami, nggak perlu minta izin kalau mau pergi, banyak lagi. Selama ini saya
memang nggak bagus di urusan relationship
sih. I wasn’t a good girlfriend, a good
wife, atau a good daughter-in-law.
Nevertheless,
being divorcee isn’t that easy. Udah saya bilang berkali-kali
kan tadi. Banyak banget hal-hal yang berubah. Yang saya tulis di bawah ini
nggak mencakup semuanya. Tapi sebelum decide
to divorce atau nyaranin orang untuk cerai, plis baca ini dulu sekali.
Divorcee
Nggak Sama Dengan Kembali Single
Saya ingat banget pertama
kali officially being divorcee,
leganya luar biasa. Kayak habis sakit perut berminggu-minggu terus akhirnya pup
keluar semua. Hahaha ... Analoginya gini amat ya. Pokoknya lega banget. Di otak
saya langsung merencanakan ini itu. Ekspektasi saya, setelah bercerai status
saya akan sama seperti sebelum menikah dulu : menjadi anak dari orang tua saya,
bebas sebebas-bebasnya karena udah gede dan bukan lagi istri orang, serta bisa
melanjutkan impian saya.
Realitanya nggak seenak
itu, dear. Saya punya anak, jadi,
sayalah yang menjadi orang tua. Dan saya nggak sebebas itu, karena tinggal
bareng orang tua. Melanjutkan impian ? Saya bahkan nggak tahu impian saya yang
mana yang masih pantas dilanjutkan. I’m
grown up now, ada sesuatu yang namanya prioritas. Impian bisa
disederhanakan.
Selain itu, status divorcee jelas konotasinya berbeda
dengan single sebelum menikah. Saya
sudah berulang kali menyinggung soal ini, di blog atau di Instastories atau di
Whatsapp stories. Status divorcee selalu diasosiasikan dengan
sifat negatif. Ramah dikit sama lawan jenis dibilang bitch, menolak ta’aruf dibilang nggak tau diri, say hi pada teman lama dibilang ada
apa-apa, pakai lipstik hitam dibilang cari perhatian (padahal saya cari
pembaca, bukan cari perhatian).
Baca : Look What You MadeMe Do !
Dan silakan sebutkan
contoh lagi.
Menjadi
Divorcee Harus Siap Dengan Tugas Ganda
Buat yang udah punya anak,
harus siap jadi ayah dan ibu sekaligus. Peran sebagai ayah bukan hanya soal
mencari uang. Harus bisa melindungi, bersikap tegas pada suatu kali lalu
berubah konyol kali lain, mengajari bersepeda, mengajari bela diri, mengajari
caranya membalas perlakuan orang, mengajari caranya mempertahankan prinsip,
banyak.
Sedangkan peran sebagai
ibu, tentu soal bersikap lembut tralala, menjadi orang yang pertama dicari anak
saat menangis, orang pertama yang dicari saat masuk jam tidur, orang yang bisa
dengan bebas dirusuh saat bekerja. Banyak juga.
Baca : 10 Hal Yang DialamiBeauty-Mom Blogger
Saya, untungnya nggak
kesulitan sama sekali menjalani peran dobel. Saya bisa menjadi ayah yang tegas saat
dibutuhkan lalu sedetik kemudian menjadi ibu yang penuh kasih. Bo’ong ding. Hahaha
...
Bohong banget kalau ada
yang bilang menjalani peran dobel itu gampang. Ngapalin skenario saat mendapat
peran dobel di teater aja susah. Ini malah nggak ada skenarionya.
Di sekolah ada pertemuan
wali murid membahas soal pembaruan gedung sekolah, saya harus datang meski undangannya
untuk para ayah. Di hari lain ada pertemuan wali murid membahas soal
perkembangan anak, undangannya untuk para ibu, saya harus datang juga.
Detik ini anak nangis
minta gendong di pundak, detik berikutnya nangis minta dipeluk karena kejedot.
Siang hari menjadi partner main perang-perangan, satu jam kemudian menjadi
pembaca cerita pengantar tidur.
Well,
intinya nggak gampang.
Menjadi
Divorcee Artinya Berani Sendirian
Sendirian dalam hal apa
pun : mulai dari yang sifatnya abstrak seperti mengambil keputusan, menyusun
rencana, merancang keuangan keluarga, hingga yang sifatnya praktis seperti
mengganti lampu, memasang rak, membuang sampah, menggeser posisi lemari, dan
sebangsanya. Ah, harus berani juga sendirian di rumah malam-malam pas pemadaman
listrik bergilir.
Untuk yang penakut,
peragu, atau yang biasa tergantung ya perlu pembiasaan. But hey, kalau sampai
memutuskan bercerai kan berarti sudah merasa sendirian sebelumnya.
Baca : Life As Divorcee #2: Decision, Decision
Soal
Finansial
Sedikit banyak pasti ada
bedanya. Ada yang kondisi finansialnya lebih bagus tapi banyak juga yang merasa
seperti bangkrut pasca perceraian. Yang kondisi keuangannya membaik setelah
bercerai, pasti dulu nikahnya sama laki-laki brengsek nggak tau diri yang
sukanya minta uang istri. Yang merasa miskin setelah bercerai, pasti selama
menikah hanya anteng menerima nafkah dari suami. Dan biasanya yang terakhir ini
lebih sulit saat memutuskan bercerai.
Sok tau banget saya bilang
pasti. Sebagian besar lah ya ?
Soal keuangan ini, harus
dipikirkan dulu sebelum bercerai. Bagaimana dengan kebutuhan anak, apakah ditanggung
sendiri atau patungan. Apakah nanti ada tunjangan atau nggak. Kalau saran saya
sih, mending nggak usah. Menerima uang dari mantan suami itu rasanya seperti
hutang budi.
Komunikasi
Dengan Ex Husband, Nggak Sesimpel Kedengarannya
Beberapa waktu lalu saya
bikin polling di Instastories, perlu
nggak keep in contact sama ex husband. 73% menjawab perlu loh. Dan ada
yang membalas perlu hanya jika punya anak. Memang ya, dua orang yang punya anak
bersama nggak akan pernah bisa jadi orang asing. Masing-masing harus menekan
ego demi kebaikan anak. Jangan sampai anak menjadi korban orang tuanya bla bla
bla.
Sebenarnya saya nggak
masalah sih dengan opini begitu. Apalagi saya juga penganut prinsip semua
mantan adalah teman. Yang udah terjadi ya udah lupain aja, maafkan aja. Masalahnya
nggak sesimpel itu. Ex husband adalah
seseorang yang you were naked in front of
him suatu hari lalu dan sekarang dia bukan siapa-siapa kamu. Sungkan,
pasti. Kesel, banget. Marah, masih. Udah nggak peduli, jelas. Complicated.
Setiap orang bisa berbeda
soal ini. Tapi perlu banget dipikirkan sebelum bercerai. Apakah kalian akan
berteman seperti nggak pernah terjadi apa-apa, atau memilih berkomunikasi tanpa
tatap muka dan terbatas hanya soal anak, atau menutup semua jalur komunikasi
sampai batas waktu yang belum ditentukan. Nggak ada pilihan yang benar atau
salah. Semuanya tergantung.
Udah. Ada yang mau
nambahin list apa lagi yang perlu
dipikirkan sebelum decide to divorce
? Tulis di kolom komen ya !
Kiss kiss
hallo mbak virly, thank you for sharing lho.. aku sendiri masih single, tapi aku juga agak miris sama konotasi negatif soal divorcee di kita.
ReplyDeletekebetulan ada beberapa orang di kehidupan aku yang divorcee juga, dan kayanya cerita hidup mereka sedikit banyak mempengaruhi pertimbangan aku soal berkeluarga, walaupun udah disuruh buru-buru karena konon katanya udah 'masa'-nya, rasanya menikah jadi sesuatu yang sangat banyak pertimbangannya buat aku.
setelah denger cerita soal perceraian, aku malah salut sama orang2 seperti mbak yang berani mengambil tindakan. apalagi dalam hal ini mbak perempuan khan, yang biasanya kalo udah cerai lebih banyak negatifnya dari orang2. semangat terus mbak, hope you have a good life ahead! :)
You got me at
ReplyDelete"pakai lipstik hitam dibilang cari perhatian (padahal saya cari pembaca, bukan cari perhatian)." wkwkkw mom
Heyyyyyjudeeeee.wordpress.com